Selasa, 19 Juli 2016

Asy-Syatibi



Asy-Syatibi (790 H/1388 M)
a.     Riwayat Hidup
Nama lengkap Abu Ishaq Asy-Syatibi adalah Abu Ishaq ibrahim ibn Musa bin Muhammad al-Lakhmi Al-Gharnati Asy-Syatibi. Tanggal dan tahun kelahiran serta latar belakang kehidupan keluarganya belum banyak diketahui. Akan tetapi, yang jelas keluarganya berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya yaitu kota Syatibah (Xatiba atau Jativa) yang terletak di kawasan Spanyol bagian Timur. Oleh karena itu, ia lebih terkenal dengan sebutan Asy-Syatibi.[1]
Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada yang merupakan banteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi Asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya dikemudian hari. Dalam meneliti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermahzab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk “ulum  al-wasa’il” (metode) maupun ‘ulum  maqashid (esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami Bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhar al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad Asy-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadist dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Miqarri, dan  Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasyimi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantik, dan debat. Disamping bertemu langsung, ia juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Rundi.[2]
Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, Asy-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari Bahasa Arab dan khususnya ushul fiqih. Ketertarikannya kepada ilmu ushul fiqih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih dalam menanggapi perubahan sosial.[3]
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Asy-Syatibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syahr Jalil’ala all Khulashah fi al-Nahwa dan Ushul al-Nahw dalam bidang Bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Sebagai seorang ulama, Asy-Syatibi telah menjadi rujukan masyarakat dan pemerintah pada masanya dalam memecahkan persoalan keagamaan atau kenegaraan yang memerlukan telaah agama. Di samping keterlibatannya secara langsung dengan realitas sosial kemasyarakatan, Asy-Syatibi senantiasa mengembangkan ilmunya dengan belajar sendiri.

b.    Karya-karya
Pemikran Asy-Syatibi dapat ditelusuri melalui karya-karya imiahnya yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, karya-karya yang tidak diterbitkan dan dipublisasikan, yaitu: (a) Syarh Jalil ‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw, (b) Khiyar Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari sahih Al-Bukhari), (c) Syarh Rajz Ibn Malik fi An-Nahw, (d) Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan (e) Ushul An-Nahw. Adapun yang termasuk kelompok kedua, yaitu karya yang diterbitkan adalah (a) Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah, (b) Al Itisham, dan (c) Al Ifadat wa Al-Irsyadat.
Di antara kitab-kitab tersebut, yang berkaitan dengan pemikiran Asy-Syatibi tentang metodologi hukum Islam (ushul fiqih) adalah kitab Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah. Kitab ini pada mulanya berjudul Unwan At-Ta’rif bi Asrar At-Taklif.
Bertitik tolak dari nama kitab ini, Asy-Syatibi berupaya memaparkan kajian mendalam mengenai rahasia-rahasia pembebanan hukum (taklif) dan tujuan penetapan hukum oleh Allah berikut segi-segi lainnya yang menjadi garapan ushul fiqih. Dari kitab Al-Muwafaqat dapat diketahui secara jelas tentang konsepsi tujuan hukum Islam yang disebut dengan Maqasid  Asy-Syariah.



c.      Konsep Maqasid  Syari’ah
Sebagai sumber utama agama Islam, Al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al-Quran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah) dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).[4]
Al-Quran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Menurut Harun Nasution, dari 6360 ayat terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum.[5] Al-Quran hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam. Bertitik tolak dari berbagai hadistnya. Kedua sumber inilah (Al-Quran dan Hadit Nabi) yang kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang muamalah. Dalam kerangka ini, Asy-Syatibi mengemukakan konsep Maqasid  Asy-Syariah.
Secara bahasa, Maqasid  Asy-Syariah terdiri dari dua kata, yakni maqasid  dan asy-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat juga dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[6] Menurut istilah, Asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syaria’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum yang tidak dapat dilaksanakan.[7] Kemaslahatan, dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan kebutuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak.[8]
Asy-Syatibi mengatakan bahwa syariat Islam didatangkan Allah dengan tujuan kemaslahatan hamba. Perintah Allah, larangan, serta pilihan-pilihan-Nya kembali kepada bagian hak dan kemaslahatan mukallaf, karena Allah tidak membutuhkan hal seperti ini. Dengan demikian, secara substansial, Maqasid  Asy-Syariah adalah kemaslahatan.
Kemaslahatan menurut Asy-Syatibi adalah segala sesuatu yang menyebabkan tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaannya dan menyebabkan manusia memperoleh tuntutan keinginan serta pikirannya sehingga dinikmati secara utuh.
            Maqasid  Asy-Syariah yang berintikan kemaslahatan, menurut Asy-Syatibi, terdiri atas empat macam. Pertama, tujuan pokok yang disebut dengan tujuan dasar atau tujuan asal (ibtida’). Kedua, tujuan pemahaman (ifham). Ketiga, tujuan penaklifan (taklifi). Keempat, tujuan ketaatan terhadap tuntutan hukum (imtisal).
a)      Pembagian Maqasid Asy-Syariah
Tujuan asal (ibtida’) syariat terdiri atas tiga tingkatan, yaitu tujuan primer (dharuriyah), tujuan sekunder (hajjiyah), dan tujuan tersier (tahsiniyyah). Tingkatan ini dapat mewujudkan kemaslahatan manusia melalui terpenuhinya lima unsur pokok kehidupan manusia dengan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
1)      Dharuriyah
Jenis maqasid dahruruyah (tujuan primer) ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan (kemaslahatan) manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Jika kelima unsur pokok ini tidak terpelihara dengan baik maka akan menimbulkan kerusakan serta kerugian di muka bumi serta di akhirat kelak. Karena itu, tujuan primer ini wajib dipelihara dengan cara menegakkan fondasi-fondasinya (min janib al-wujuh) dan menghilangkan hal-hal yang menghancurkannya (min janib al-adam). Tujuan ini meliputi tiga wilayah yakni ibadah, adat, dan muamalah. Pada wilayah ibadah, tujuan hukum terpusat pada pemeliharaan agama, seperti tertanamnya keimanan, pengakuan syahadat, shalat, zakat, shaum, haji, dan hal-hal yang dianggap wilayah ibadah. Pada wilayah adat, tujuan hukum diarahkan pada pemeliharaan nyawa dan akal termasuk dalam memperoleh makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan macam lainnya. Adapun pada wilayah muamalah, tujuan hukum bermuara pada pemeliharaan regenerasi atau keturunan (nasab) dan harta, bahkan terdapat pula pada nyawa dan akal. Dengan demikian, ada lima tujuan primer berdasarkan pemetaan wilayahnya, yaitu memelihara agama (hifzh ad-din), nyawa (hifz an-nafs), keturunan (hifz an-nasab), harta (hifz al-mal), dan memelihara akal (hifz al-aql).
2)      Hajiyat
Jenis maqasid hajiyat (tujuan sekunder) ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unnsur pokok kehidupan manusia walaupun tidak berakibat pada kehancuran hidup. Keperluan-keperluan seperti ini, diantarannya adanya rukhsah dalam ibadah, bolehnya berburu binatang dan menikmati hal-hal yang baik dari makanan, minuman, pakaian, papan, sandang, dan fasilitas lainnya yang menjadi wilayah kebiasaan sehari-hari (adat) , bolehnya aktivitas ekonomi seperti transaksi mudharabah, muzaraah, qiradh, masaqah, salam, dan kegiatan lainnya yang serupa.
3)      Tahsiniyat
Sementara itu, tujuan tersier adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Tujuan  ini berorientasi pada nilai-nilai keindahan berupa akhlak karimah. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang, dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak, pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan, etika bersuci, menutup aurat, mamakai perhiasan, mengerjakan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan, etika makan dan minum, menghindari jual beli barang bernajis, pencabutan hak budak atau wanita dari kesaksian dan kepemimpinan dan masalah lainnya.
b)     Korelasi antara Dharuriyyah , Hajjiyat , dan Tahsiniyyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Asy-Syatibi menyimpulkan korelasi antara dharuriyyah , hajjiyat , dan tahsiniyyat sebagai berikut.
1.      Maqasid  dharuriyyah  merupakan dasar bagi maqasid  hajjiyat  dan maqasid  tahsiniyyat
2.      Kerusakan pada maqasid  dharuriyyah  akan membawa kerusakan pula pada maqasid  hajjiyat  dan maqasid  tahsiniyyat
3.      Sebaliknya kerusakan pada maqasid  hajjiyat  dan maqasid  tahsiniyyat tidak dapat merusak maqasid  dharuriyyah
4.      Pemeliharaan maqasid  hajjiyat  dan maqasid  tahsiniyyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid  dharuriyah secara tepat
Dengan demikian, apabia dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqasid  tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya bagi Asy-Syatibi tingkat hajiyat merupakan tingkat penyempurnaan tingkat dharuriyah, tingkat tahsiniyat  merupakan penyempurna bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyah menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat .
Pengklasifikasian yang dilakukan Asy-Syatibi tersebut menunjukkan bahwa sangat penting pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan Allah SWT dalam rangka mewujukan kemaslahatan manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharuriyah dapat merusak kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Pengabdian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi menusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabainan terhadap aspek tahsiniyat  mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.[9] Lebih jauh, ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang berifat tahsiniyat  harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqasid  yang lebih tiggi (dharuriyah dan hajiyat).
Selain tujuan asal, syariat Islam mengandung tujuan pemahaman terhadap syariat. Tujuan ini ada berdasarkan kenyataan bahwa Al-Quran sebagai sumber dan dalil hukum turun dengan Bahasa Arab. Karena itu, telaah terhadap dilalah  lafazh Al-Quran sebagai teks-teks hukum baik makna asal maupun makna tambahan. Dengan demikian, Al-Quran sebagai teks hukum (nash ) mengandung dilalah  ashliyyah, yaitu dilalah  yang menunjukkan asal dan dilalah  taba’iyah, yaitu dilalah  yang menunjukkan makna-makna tambahan. Analisis dilalah  inilah yang melahirkan rumusan tentang rujukan hukum pada tingkat daruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah.
Dilalah  ashliyyah adalah dilalah  lafazh, yang pada dasarnya mengandung makna mutlak, seperti makna asal perintah (amar), larangan (nahi), lafazh umum, lafazh khusus, serta lafazh-lafazh lain yang belum bergeser dari makna asalnya. Hal ini berbeda dengan dilalah  taba’iyyah yang berfungsi sebagai makna tambahan (penguat, penjelas, pembatas, dan lainnya) terhadap makan asal. Oleh karena itu, kemaslahatan tingkat tersier menempati posisi sebagai makna pelengkap bagi tingkat sekunder dan begitu pula kemaslahatan tingkat sekunder sebagai pelengkap tingkat primer.
Dalam memahami dilalah  lafazh, Asy-Syatibi termasuk seorang ulama yang menempuh pendekatan terpadu antara pendekatan zhahir lafazh dengan pertimbangan makana serta illat. Pengejawantahan pemikiran ini terlihat tampak dalam tiga cara yang dikemukakan Asy-Syatibi ketika memahami maqashid asy-syariah, yaitu: (1) analisis terhadap makna-makna asal dari lafadz amar dan nahyi, (2) analisis terhadap pertimbangan illat-illat yang terdapat dalam amar dan nahyi, dan (3) menentukan adanya tujuan peengkap pada setiap hukum, baik yang bersifat adat maupun ibadah.
Tujuan ketiga syariat Islam adalah pemberlakuan hukum bagi setiap individu yang layak menerimanya (mukallaf). Tujuan seperti ini disebut juga sebagai tujuan taklif . tujuan taklif hukum berpijak pada konsep dasar bahwa hukum hanya berlaku menurt kemampuan mukallaf. Kemampuan mukallaf berkisar di antara usahanya, di luar usahanya, atau di antara keduannya. Hukum berlaku hanya pada kemampuan dan usahanya sendiri.
Tujuan taklif tidak dimaksudkan untuk menimbulakn kemaksiatan, tetapi untuk mewujudkan kemaslahatan, baik pada asa sekarang maupun masa mendatang. Kemaslahatan yang demikian tidak akan pernah terwujud bila diserahkan kepada ambisi pribadi (nafsu) setiap individu. Oleh karena itu, taklif syariat ini pada dasarnya ditetapkan untuk membebaskan mukallaf dari cengkraman hawa nafsu.
Sementara itu, tujuan keempat sebagai tujuan akhir dari penetapan syariat adalah tujuan yang menuntut setiap individu agar menaati dan mengikuti syariat sebagai hukum yang mengikat.
Tujuan akhir ini berorientasi pada pembentukan mukallaf agar menjadi hamba Allah yang punya kebebasan di samping kepatuhan kepada-Nya. Terdapat tiga alasan yang menjadi tuntutan menaati syariat ini. Pertama, beberapa nash  yang jelas-jelas menunjukkan bahwa setiap hamba diciptakan Allah agar tunduk kepada-Nya dan berada di bawah perintah serta larangan-Nya. Kedua, beberapa nash  yang menunjukkan celaan bila menyalahi tujuan pemciptaan hamba tersebut. Apabila setiap individu tidak tidak mengikuti tujuan ini berarti mereka mengikuti keinginannya sendiri padahal sikap yang demikian dilarang Allah.ketiga, kenyataan empiris dan adat yang menunjjukan bahwa kemaslahatan yang berdimensi akhirat (ukhrawi) dan dunia (duniawy) tidak akan berhasil jika dibiarkan mengikuti hawa nafsu telah menimbulkan konflik yang berakibat terjadinya pembunuhan dan kehancuran hidup. Karena itu, setiap perbuatan mukallaf tidak dapat bebas dari rambu-rambu hukum, yaitu wajib, haram, makhruh, mandub, dan mubah.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kemaslahatan ukhrawi dan duniawy yang dicita-citakan oleh setiap individu dapat diperoleh semata-mata dengan mengikuti syariat Islam. Di samping itu, dapat diketahui pula bahwa formulasi maqashid asy-syari’ah hingga menjadi suatu konsep merupakan hasil penelitian induktif terhadap sejumlah nash  (Al-Quran dan Al-Hadis) yang diperkuat dengan fakta-fakta empiris. Hasil penelitian induktif tersebut menunjukkan bahwa syariat Islam bertujuan pada terwujudnya kemaslahatan bagi manusia. 

d.    Pemikiran Ekonomi
1.      Objek kepemilikan
Pada dasarnya, Asy-Syatibi mengakui hak milik individu. Akan tetapi, ia menolak kepemimpinan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
2.      Pajak
Dalam pandangan Asy-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah   (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat parapendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tangung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan terseebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.
3.      Teori Kesejahteraan (Walfare)
Dari pemaparan konsep Maqasid  Asy-Syari’ah di atas terlihat jelas bahwa syariah menginginkan  setiap individu memerhatikan kesejahteraan mereka. Asy-Syatibi menggunakan istilah maslahah   untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kamaslahatan seperti didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut dengan kebutuhan (needs).
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karena itu, problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfilment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
Apabila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep maqasid  asy-syari’ah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persolan “mengapa” seseorang berperilaku. Motivasi itu didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan, dan sebaginya. Bila dikatikan dengan konsep maqashid asy-syariah, jelas bahwa dalam pandangnan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenui kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seeorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan, dan tujuan.


 






Menurtut Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal yang menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahawa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri atas berikut.
1.      Kebutuhan fisiologi (physiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi , kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
2.      Kebutuhan keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
3.      Kebutuhan sosial  (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih saying, dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan memengaruhi kesehatan jiwa.
4.      Kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri.
5.      Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), mencakup pemenuhan kebutuhan ini akan memengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
6.      Kebutuhan aktuaisasi diri (self-actualization needs), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi.





Gambar
Maslow’s Hierarchy Of Needs Theory


 













Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan Maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:
1.      Pemenuhan kebutuhan fisiologi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2.      Pemenuhan kebutuhan kemanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, kemanan kerja dan lingkungan kerja yang nyaman.
3.      Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap kerjasama, stabilitas kelompok, dan kesempatan berinterksi sosial.
4.      Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat di aplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan public terhadap performance yang baik.
5.      Pemenuhan kebutuahn aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam kreativitas dan tantangan pekerjaan.
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep Maqasid  Asy-Syari’ah. Bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh Asy-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehdupan umat manusia di dunia ini.
Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
4.      Implikasi maqasid  asy-syari’ah terhadap perilaku konsumen
Problematika ekonomi manusia secara konvensional dikenal memiliki tiga dimensi, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana cara memproduksi, dan bagi siapa produksi itu dilakukan.[10] Permasalahan tersebut tidak akan timbul apabila sumber daya alam tidak terbatas selaras dengan keinginan (wants) manusia atau keinginan (wants) manusia terbatas selaras dengan sumber daya alam yang tersedia. Dalam ekonomi Islam, pendekatan yang dilakukan terhadap permasalahan ini berbeda dengan konvensional. Islam justru mengajukan pertanyaan mendasar, mengapa terlibat dalam aktivitas ekonomi?
Di samping itu, problematika ekonomi manusia yang didefinisikan dalam teori ekonomi konvensional masih menimbukkan ketidakjelasan. Hal ini setidaknya terletak pada konsistensinya. Menurut teori ekonomi konvensional, problematika ekonomi manusia timbul karena adanya kelangkaan sumber daya alam. Andaikan kelangkaan tersebut dapat dihilangkan, apakah problematika tersebut terpecahkan? Jelas tidak, karenan ketidakmampuan yang melekat pada berbagai sumber daya alam materi untuk memuaskan seluruh keinginan manusia. Beberapa ekonom barat seperti Galbraith, mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap penggambaran tujuan dari sudut pandang keinginan (wants). Menurut Galbrait, bagaimana produksi dapat dipertahankan sebgai alat pemuas keinginan jika produksi itu sendiri yang menciptakan keinginan?
a.      Tujuan Aktivitas Ekonomi Individu
Syariah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Asy-Syatibi menggunakan isltilah maslahah   untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemasahatan seperti didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Kebutuhan inilah yang harus dipenuhi.
Pemenuhan kebutuhan (fulfilling  needs) tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan inni adalah kewajiban agama. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya.
Pendekatan bahwa keinginan (wants) tidak terbatas sehubungan dengan kelangkaan sumber daya alam yang menetapkan problematika ekonomi manusia mungkin menjelaskan perilaku ekonomi suatu masyarakat kapitalis, akan tetapi, secara meyakinkan gagal untuk menjelaskan perilaku beberapa masyarakat dunia tradisional. Para anggota masyarakat tradisional tidak merasa termotivasi untuk memaksimalisasi kepuasan dari keinginan mereka (wants) dengan sumber daya alam yang tersedia bagi mereka karena mendapatkan kebutuhan mereka telah terpenuhi secara mencukupi dan tidak merasa diwajibkan untuk memelihara kepuasan dari keinginan mereka melebihi kebutuhan (needs) yang didefinisikan oleh diri mereka sendiri atau lingkungan mereka.
Disisi lain, teori ekonomi Islam mendefinikan problematika ekonomi dalam perspektif tujuan tersebut. Pemenuhan tujuan tersebut menjadi kewajiban agama. Oleh karena itu, Islam menjadi sebuah kekuatan pembangunan ekonomi, sekalipun terhadap beberapa masyarakat tradisional yang tidak termotivasi oleh pendekatan matrealistis untuk memaksimalkan the satisfaction of wants. Dengan demikian, problematika ekonomi manusia adalah pemenuhan kebutuhan (fulfilment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
b.      Efisiensi
Perhatian utama ilmu ekonomi konvensional adalah efisiensi. Perhatian ini timbul secara langsung dari definisi mereka tentang problematika ekonomi. Apabila wants tidak terbatas, dan sumber daya alam langka kemudian satu-satunya solusi masalah tesebut adalah economize (penghematan). Inilah yang diebut dengan efisiensi, yaitu melakukan yang terbaik dengan apa yang kita miliki. Apabila keinginan kita sebenarnya tidak terbatas dan sumber daya alam terbatas, kita secara rasional tidak dapat memuaskan seluruh keinginan material masyarakat. Hal terbaik berikutnya daalah memperoleh kepuasan sebesar mungkin dari berbagai keinginan ini.
Dibandingkan dengan hal ini, dalam konteks ilmu ekonomi Islam, efisiensi mungkin bukan perhatian utama. Sifat yang membuat disenangi (desirability) mempunyai kedudukan yang sama penting dengan efisiensi. Desirability senantiasa ditentukan oleh maslahah  .
Pemenuhan kebutuhan diperlukan sekali (desirability). Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan dharuriyah menempati prioritas utama. Seluruh sumber daya alam dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Kebutuhan dharuriyah terbatas, dan sumber daya alam tidak akan mengalami kelangkaan untuk memenuhi kebutuhan ini. Efisiensi dan desirability secara serempak dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan hajiyat dan tahsiniyat . Oleh karena itu, efisiensi dan desirability secara bersama-sama mendapatkan perhatian utama dalam ilmu ekonomi Islam. Ketika terjadi konflik antara keduannya, desirability akan mempati prioritas yang lebih tinggi dari pada efisiensi karena desirability ditentukan oleh maslahah.
c.       Keinginan (Wants) dan Kebutuhan (Needs)
Wants dan needs berasal dari tempat yang sama, yaitu naluri hasrat manusia. Namun, dalam framework Islami, seluruh hasrat manusia tidak bisa dijalankan sebagai needs. Hanya hasrat yang memiliki maslahah   atau manfaat di dunia dan akhirat yang bisa dijadikan sebagai needs. Dengan demikian konsep wants adalah konsep yang bebas nilai, sedangkan konsep needs adalah konsep yang tidak bebas nilai. Dalam hal ini, Islam tidak memberikan dorongan kepada manusia untuk mengukuti keinginannya, tetapi sebaliknya mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhannya seperti yang didefinisikan syariah.
d.      Maslahah   vs Utilitas
Teori eokomi konvensional menggambarkan utility (nilai guna) sebagai sifat barang atau jasa untuk memuaskan keinginan manusia. Ini berarti bahwa setiap orang harus menentukan tingkat kepuasannya berdasaarkan kriteria yang diciptakannya sendiri. Dengan kata lain, kepuasan ditentukan secara subjektif. Aktivitas ekonomi untuk mendapatkan atau memproduksi sesuatu didorong oleh utility tersebut. Apabila sesuatu dapat memberikan kepuasan kepada seseorang, manusia akan berusaha untuk mendapatkan, memproduksi dan atau mengkonsumsi sesuatu tersebut.
Dalam ekonomi Islam, yang menjadi sifat atau kekuatan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia adalah maslahah. Seperti yang diungkapkan  Asy-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian, seorang muslim termotivasi secara keagamaan untuk memeperoleh atau memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah   tersebut. Beberapa barang atau jasa akan memiliki maslahah yang berbeda-beda tergantung pada pertimbangan maqasid asy-syaria’ah. Barang atau jasa yang menjaga kelima unsur tersebut akan memiliki maslahah   yang lebih besar dari pada barang atau jasa yang hanya berfungsi sebagai penghias kelima unsur tersebut. Dengan demikian, konsep maslahah   merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku konsumen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid ) syariah.
e.       Pembelanjaan
Seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syatibi, kemaslahatan manusia mencakup kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam ekonomi Islam, para konsumen harus mengalokasikan pendapatan mereka di antara dua jenis pengeluaran, yaitu pengeluaran di jalan Alllah SWT (secara eksplisit tidak memberikan keuntungan duniawi) dan pengeluaran yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan duniawi secara langsung. Pengeluaran di jalan Allah SWT mempunyai beberapa implikasi terhadap berbagai kebijakan makroekonommi dalam konteks tabungan, investasi, pertumbuhan, distribusi, pendapatan, pengangguran, inflasi, dan sebagainya.
 
DAFTAR PUSTAKA

Euis Amalia,  Seajarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Gramata, 2010
Nur Chamid, MM, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010




[1] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), hlm. 252
[2] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syaitibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.24.
[3] Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran al-Syaitibi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), hlm. 111
[4] Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh, (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah: 1968), hlm. 32.
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 7.
[6] Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,1984), hlm. 140.
[7] Ibid., hlm. 150.
[8] Ibid., hlm. 25.
[9] Mustasfa Anas Zarqa, Islamic Economics: Approach to Human Welfare, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (ed.), Radings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, (Selangor, Darul Ehsan: Pelanduk Publication, 1989), hlm. 35-36.
[10] Euis Amalia, op. cit., hlm. 255