Asy-Syatibi (790
H/1388 M)
a.
Riwayat Hidup
Nama
lengkap Abu Ishaq Asy-Syatibi adalah Abu Ishaq ibrahim ibn Musa bin Muhammad
al-Lakhmi Al-Gharnati Asy-Syatibi. Tanggal dan tahun kelahiran serta latar
belakang kehidupan keluarganya belum banyak diketahui. Akan tetapi, yang jelas
keluarganya berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama Asy-Syatibi dinisbatkan ke
daerah asal keluarganya yaitu kota Syatibah (Xatiba atau Jativa) yang terletak
di kawasan Spanyol bagian Timur. Oleh karena itu, ia lebih terkenal dengan sebutan
Asy-Syatibi.[1]
Asy-Syatibi
dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada yang merupakan banteng
terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa
pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan
umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan
berdirinya Universitas Granada.
Suasana
ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi
Asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya dikemudian hari. Dalam
meneliti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermahzab Maliki ini
mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk “ulum al-wasa’il” (metode) maupun ‘ulum
maqashid
(esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar
dan mendalami Bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhar al-Biri, Abu
Qasim Muhammad ibn Ahmad Asy-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad al-Syaqwari.
Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadist dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin
al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Miqarri, dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif
al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasyimi, serta berbagai
ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantik, dan debat. Disamping bertemu
langsung, ia juga melakukan korespondensi untuk meningkatkan dan mengembangkan
pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn
Ibad al-Rundi.[2]
Meskipun
mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, Asy-Syatibi lebih berminat untuk
mempelajari Bahasa Arab dan khususnya ushul
fiqih. Ketertarikannya kepada ilmu ushul fiqih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fiqih Islam merupakan faktor yang sangat
menentukan kekuatan dan kelemahan fiqih
dalam menanggapi perubahan sosial.[3]
Setelah
memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Asy-Syatibi mengembangkan potensi
keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu
Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu,
ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syahr Jalil’ala all Khulashah fi
al-Nahwa dan Ushul al-Nahw dalam
bidang Bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul
asy-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul
fiqih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal
8 Sya’ban 790 H (1388 M).
Sebagai
seorang ulama, Asy-Syatibi telah menjadi rujukan masyarakat dan pemerintah pada
masanya dalam memecahkan persoalan keagamaan atau kenegaraan yang memerlukan
telaah agama. Di samping keterlibatannya secara langsung dengan realitas sosial
kemasyarakatan, Asy-Syatibi senantiasa mengembangkan ilmunya dengan belajar
sendiri.
b.
Karya-karya
Pemikran
Asy-Syatibi dapat ditelusuri melalui karya-karya imiahnya yang dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok. Pertama, karya-karya yang tidak diterbitkan dan
dipublisasikan, yaitu: (a) Syarh Jalil
‘ala Al-Khulasah fi An-Nahw, (b) Khiyar
Al-Majalis (syarh kitab jual beli dari sahih Al-Bukhari), (c) Syarh Rajz Ibn Malik fi An-Nahw, (d) Unwan Al-Ittifaq fi Ilm Al-Isytiqaq, dan
(e) Ushul An-Nahw. Adapun yang
termasuk kelompok kedua, yaitu karya yang diterbitkan adalah (a) Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah, (b) Al Itisham, dan (c) Al Ifadat wa Al-Irsyadat.
Di
antara kitab-kitab tersebut, yang berkaitan dengan pemikiran Asy-Syatibi
tentang metodologi hukum Islam (ushul
fiqih) adalah kitab Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syariah. Kitab
ini pada mulanya berjudul Unwan At-Ta’rif
bi Asrar At-Taklif.
Bertitik
tolak dari nama kitab ini, Asy-Syatibi berupaya memaparkan kajian mendalam
mengenai rahasia-rahasia pembebanan hukum (taklif)
dan tujuan penetapan hukum oleh Allah berikut segi-segi lainnya yang menjadi
garapan ushul fiqih. Dari kitab Al-Muwafaqat dapat diketahui secara jelas tentang
konsepsi tujuan hukum Islam yang disebut dengan Maqasid Asy-Syariah.
c.
Konsep Maqasid Syari’ah
Sebagai
sumber utama agama Islam, Al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi
kandungan Al-Quran dalam tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan
dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah) dalam sistematika hukum Islam,
dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl
min Allah) dan muamalah (habl min
al-nas).[4]
Al-Quran
tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah.
Menurut Harun Nasution, dari 6360 ayat terdapat 368 ayat yang berkaitan dengan
aspek-aspek hukum.[5]
Al-Quran hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai
masalah hukum dalam Islam. Bertitik tolak dari berbagai hadistnya. Kedua sumber inilah (Al-Quran dan Hadit Nabi) yang
kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di
bidang muamalah. Dalam kerangka ini, Asy-Syatibi mengemukakan konsep Maqasid Asy-Syariah.
Secara
bahasa, Maqasid Asy-Syariah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan asy-syariah
berarti jalan menuju sumber air, dapat juga dikatakan sebagai jalan kearah
sumber pokok kehidupan.[6] Menurut istilah,
Asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya
syaria’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.”
Dari
pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak
satu pun hukum yang tidak dapat dilaksanakan.[7] Kemaslahatan, dalam hal ini diartikan sebagai segala sesuatu yang
menyangkut rezeki manusia, pemenuhan kebutuhan penghidupan manusia, dan
perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya dalam pengertian yang mutlak.[8]
Asy-Syatibi
mengatakan bahwa syariat Islam didatangkan Allah dengan tujuan kemaslahatan hamba. Perintah Allah,
larangan, serta pilihan-pilihan-Nya kembali kepada bagian hak dan kemaslahatan mukallaf, karena Allah tidak membutuhkan hal seperti ini. Dengan
demikian, secara substansial, Maqasid Asy-Syariah adalah kemaslahatan.
Kemaslahatan
menurut Asy-Syatibi adalah segala sesuatu yang menyebabkan tegaknya kehidupan
manusia serta kesempurnaannya dan menyebabkan manusia memperoleh tuntutan
keinginan serta pikirannya sehingga dinikmati secara utuh.
Maqasid Asy-Syariah yang berintikan kemaslahatan, menurut Asy-Syatibi,
terdiri atas empat macam. Pertama,
tujuan pokok yang disebut dengan tujuan dasar atau tujuan asal (ibtida’). Kedua, tujuan pemahaman (ifham).
Ketiga, tujuan penaklifan (taklifi). Keempat, tujuan ketaatan terhadap tuntutan hukum (imtisal).
a)
Pembagian
Maqasid Asy-Syariah
Tujuan
asal (ibtida’) syariat terdiri atas
tiga tingkatan, yaitu tujuan primer (dharuriyah),
tujuan sekunder (hajjiyah), dan
tujuan tersier (tahsiniyyah).
Tingkatan ini dapat mewujudkan kemaslahatan
manusia melalui terpenuhinya lima unsur pokok kehidupan manusia dengan
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
1) Dharuriyah
Jenis maqasid
dahruruyah (tujuan primer) ini merupakan kemestian dan landasan dalam
menegakkan kesejahteraan (kemaslahatan)
manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok
dalam kehidupan manusia. Jika kelima unsur pokok ini tidak terpelihara dengan
baik maka akan menimbulkan kerusakan serta kerugian di muka bumi serta di
akhirat kelak. Karena itu, tujuan primer ini wajib dipelihara dengan cara
menegakkan fondasi-fondasinya (min janib
al-wujuh) dan menghilangkan hal-hal yang menghancurkannya (min janib al-adam). Tujuan ini meliputi
tiga wilayah yakni ibadah, adat, dan muamalah. Pada wilayah ibadah, tujuan hukum
terpusat pada pemeliharaan agama, seperti tertanamnya keimanan, pengakuan
syahadat, shalat, zakat, shaum, haji, dan hal-hal yang dianggap wilayah ibadah.
Pada wilayah adat, tujuan hukum diarahkan pada pemeliharaan nyawa dan akal termasuk
dalam memperoleh makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan macam lainnya.
Adapun pada wilayah muamalah, tujuan hukum bermuara pada pemeliharaan
regenerasi atau keturunan (nasab) dan
harta, bahkan terdapat pula pada nyawa dan akal. Dengan demikian, ada lima
tujuan primer berdasarkan pemetaan wilayahnya, yaitu memelihara agama (hifzh ad-din), nyawa (hifz an-nafs), keturunan (hifz an-nasab), harta (hifz al-mal), dan memelihara akal (hifz al-aql).
2) Hajiyat
Jenis
maqasid hajiyat (tujuan sekunder) ini dimaksudkan untuk memudahkan
kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik
terhadap lima unnsur pokok kehidupan manusia walaupun tidak berakibat pada
kehancuran hidup. Keperluan-keperluan seperti ini, diantarannya adanya rukhsah dalam ibadah, bolehnya berburu
binatang dan menikmati hal-hal yang baik dari makanan, minuman, pakaian, papan,
sandang, dan fasilitas lainnya yang menjadi wilayah kebiasaan sehari-hari (adat) , bolehnya aktivitas ekonomi
seperti transaksi mudharabah, muzaraah, qiradh,
masaqah, salam, dan kegiatan lainnya yang serupa.
3) Tahsiniyat
Sementara
itu, tujuan tersier adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Tujuan ini berorientasi pada nilai-nilai keindahan
berupa akhlak karimah. Ia tidak
dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi
hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang, dan penghias kehidupan manusia.
Contoh jenis maqashid ini antara lain
mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak, pengembangan kualitas
produksi dan hasil pekerjaan, etika bersuci, menutup aurat, mamakai perhiasan,
mengerjakan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan, etika makan dan minum,
menghindari jual beli barang bernajis, pencabutan hak budak atau wanita dari
kesaksian dan kepemimpinan dan masalah lainnya.
b)
Korelasi
antara Dharuriyyah , Hajjiyat , dan Tahsiniyyat
Dari
hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Asy-Syatibi menyimpulkan korelasi
antara dharuriyyah , hajjiyat , dan tahsiniyyat sebagai berikut.
1. Maqasid dharuriyyah
merupakan dasar bagi maqasid hajjiyat
dan maqasid tahsiniyyat
2. Kerusakan
pada maqasid dharuriyyah
akan membawa kerusakan pula pada maqasid hajjiyat
dan maqasid tahsiniyyat
3. Sebaliknya
kerusakan pada maqasid hajjiyat
dan maqasid tahsiniyyat tidak dapat merusak maqasid
dharuriyyah
4. Pemeliharaan
maqasid hajjiyat
dan maqasid tahsiniyyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid dharuriyah secara tepat
Dengan
demikian, apabia dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur
pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqasid
tersebut tidak dapat dipisahkan.
Tampaknya bagi Asy-Syatibi tingkat hajiyat
merupakan tingkat penyempurnaan tingkat dharuriyah,
tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyah menjadi pokok hajiyat
dan tahsiniyat .
Pengklasifikasian
yang dilakukan Asy-Syatibi tersebut menunjukkan bahwa sangat penting
pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Di samping itu,
pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika
pemahaman hukum yang diciptakan Allah SWT dalam rangka mewujukan kemaslahatan manusia.
Berkenaan
dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya
aspek dharuriyah dapat merusak
kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Pengabdian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan
lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi menusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun
pengabainan terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur
pokok tidak sempurna.[9] Lebih jauh, ia menyatakan
bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang berifat tahsiniyat harus
dikesampingkan jika bertentangan dengan maqasid
yang lebih tiggi (dharuriyah dan hajiyat).
Selain
tujuan asal, syariat Islam mengandung tujuan pemahaman terhadap syariat. Tujuan
ini ada berdasarkan kenyataan bahwa Al-Quran sebagai sumber dan dalil hukum
turun dengan Bahasa Arab. Karena itu, telaah terhadap dilalah lafazh Al-Quran sebagai teks-teks hukum baik makna asal maupun
makna tambahan. Dengan demikian, Al-Quran sebagai teks hukum (nash ) mengandung dilalah ashliyyah, yaitu dilalah yang menunjukkan asal dan dilalah taba’iyah, yaitu dilalah yang menunjukkan makna-makna tambahan.
Analisis dilalah inilah yang melahirkan rumusan tentang rujukan
hukum pada tingkat daruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah.
Dilalah ashliyyah
adalah dilalah lafazh,
yang pada dasarnya mengandung makna mutlak, seperti makna asal perintah (amar), larangan (nahi), lafazh umum, lafazh khusus, serta lafazh-lafazh lain yang belum bergeser dari makna asalnya. Hal ini berbeda
dengan dilalah taba’iyyah yang berfungsi sebagai makna
tambahan (penguat, penjelas, pembatas, dan lainnya) terhadap makan asal. Oleh
karena itu, kemaslahatan tingkat
tersier menempati posisi sebagai makna pelengkap bagi tingkat sekunder dan
begitu pula kemaslahatan tingkat
sekunder sebagai pelengkap tingkat primer.
Dalam
memahami dilalah lafazh,
Asy-Syatibi termasuk seorang ulama yang menempuh pendekatan terpadu antara
pendekatan zhahir lafazh dengan pertimbangan makana serta illat. Pengejawantahan pemikiran ini
terlihat tampak dalam tiga cara yang dikemukakan Asy-Syatibi ketika memahami maqashid asy-syariah, yaitu: (1) analisis terhadap makna-makna asal dari lafadz amar dan nahyi, (2) analisis terhadap pertimbangan illat-illat yang terdapat
dalam amar dan nahyi, dan (3) menentukan adanya tujuan peengkap pada setiap hukum,
baik yang bersifat adat maupun ibadah.
Tujuan
ketiga syariat Islam adalah pemberlakuan hukum bagi setiap individu yang layak
menerimanya (mukallaf). Tujuan
seperti ini disebut juga sebagai tujuan taklif . tujuan taklif hukum berpijak
pada konsep dasar bahwa hukum hanya berlaku menurt kemampuan mukallaf. Kemampuan mukallaf berkisar di antara usahanya, di luar usahanya, atau di
antara keduannya. Hukum berlaku hanya pada kemampuan dan usahanya sendiri.
Tujuan
taklif tidak dimaksudkan untuk menimbulakn kemaksiatan, tetapi untuk mewujudkan
kemaslahatan, baik pada asa sekarang
maupun masa mendatang. Kemaslahatan
yang demikian tidak akan pernah terwujud bila diserahkan kepada ambisi pribadi
(nafsu) setiap individu. Oleh karena itu, taklif syariat ini pada dasarnya
ditetapkan untuk membebaskan mukallaf
dari cengkraman hawa nafsu.
Sementara
itu, tujuan keempat sebagai tujuan akhir dari penetapan syariat adalah tujuan
yang menuntut setiap individu agar menaati dan mengikuti syariat sebagai hukum
yang mengikat.
Tujuan
akhir ini berorientasi pada pembentukan mukallaf
agar menjadi hamba Allah yang punya kebebasan di samping kepatuhan kepada-Nya.
Terdapat tiga alasan yang menjadi tuntutan menaati syariat ini. Pertama,
beberapa nash yang jelas-jelas menunjukkan bahwa setiap
hamba diciptakan Allah agar tunduk kepada-Nya dan berada di bawah perintah
serta larangan-Nya. Kedua, beberapa nash yang menunjukkan celaan bila menyalahi tujuan
pemciptaan hamba tersebut. Apabila setiap individu tidak tidak mengikuti tujuan
ini berarti mereka mengikuti keinginannya sendiri padahal sikap yang demikian
dilarang Allah.ketiga, kenyataan empiris dan adat yang menunjjukan bahwa kemaslahatan yang berdimensi akhirat (ukhrawi) dan dunia (duniawy) tidak akan berhasil jika dibiarkan mengikuti hawa nafsu
telah menimbulkan konflik yang berakibat terjadinya pembunuhan dan kehancuran
hidup. Karena itu, setiap perbuatan mukallaf
tidak dapat bebas dari rambu-rambu hukum, yaitu wajib, haram, makhruh, mandub,
dan mubah.
Uraian
di atas menunjukkan bahwa kemaslahatan
ukhrawi dan duniawy yang dicita-citakan oleh setiap individu dapat diperoleh semata-mata
dengan mengikuti syariat Islam. Di samping itu, dapat diketahui pula bahwa
formulasi maqashid asy-syari’ah
hingga menjadi suatu konsep merupakan hasil penelitian induktif terhadap
sejumlah nash (Al-Quran dan Al-Hadis) yang diperkuat dengan
fakta-fakta empiris. Hasil penelitian induktif tersebut menunjukkan bahwa
syariat Islam bertujuan pada terwujudnya kemaslahatan
bagi manusia.
d.
Pemikiran Ekonomi
1.
Objek
kepemilikan
Pada
dasarnya, Asy-Syatibi mengakui hak milik individu. Akan tetapi, ia menolak
kepemimpinan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat
hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan
penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia
membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek
kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai
objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang
tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan
yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.
2.
Pajak
Dalam pandangan Asy-Syatibi, pemungutan
pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat
parapendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra’, ia menyatakan bahwa
pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat.
Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tangung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya
kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk
tujuan terseebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru
terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah
Islam.
3.
Teori
Kesejahteraan (Walfare)
Dari pemaparan konsep Maqasid Asy-Syari’ah di atas
terlihat jelas bahwa syariah
menginginkan setiap individu
memerhatikan kesejahteraan mereka. Asy-Syatibi menggunakan istilah maslahah
untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia
senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan.
Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan
kamaslahatan seperti didefinisikan syariah
harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di
akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut
dengan kebutuhan (needs).
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian
tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini
adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan
berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karena itu, problematika ekonomi manusia
dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfilment needs) dengan
sumber daya alam yang tersedia.
Apabila ditelaah dari sudut pandang ilmu
manajemen kontemporer, konsep maqasid asy-syari’ah
mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti yang
telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persolan
“mengapa” seseorang berperilaku. Motivasi itu didefinisikan sebagai seluruh
kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan
keinginan, hasrat, dorongan, dan sebaginya. Bila dikatikan dengan konsep maqashid asy-syariah, jelas bahwa dalam pandangnan Islam, motivasi manusia dalam
melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenui kebutuhannya dalam arti
memperoleh kemaslahatan hidup di
dunia dan di akhirat.
Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan
kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seeorang individu akan terdorong untuk
berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis
maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan, dan tujuan.

Menurtut Maslow, apabila seluruh kebutuhan
seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang
paling mendasar merupakan hal yang menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang
individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi
jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat
bahawa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri
atas berikut.
1. Kebutuhan
fisiologi (physiological needs), mencakup kebutuhan dasar
manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi , kebutuhan dasar ini
akan menjadi prioritas manusia dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup
lainnya.
2. Kebutuhan
keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan
kesehatan serta krisis ekonomi.
3. Kebutuhan
sosial (social needs), mencakup
kebutuhan akan cinta, kasih saying, dan persahabatan. Tidak terpenuhinya
kebutuhan ini akan memengaruhi kesehatan jiwa.
4. Kebutuhan
terhadap penghormatan dan pengakuan diri.
5. Kebutuhan
akan penghargaan (esteem needs), mencakup pemenuhan kebutuhan ini
akan memengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
6. Kebutuhan
aktuaisasi diri (self-actualization needs), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan
kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi.
Gambar
Maslow’s Hierarchy Of Needs Theory
![]() |
Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan
yang dikemukakan Maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:
1. Pemenuhan
kebutuhan fisiologi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah
atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2. Pemenuhan
kebutuhan kemanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian
tunjangan, kemanan kerja dan lingkungan kerja yang nyaman.
3. Pemenuhan
kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan
terhadap kerjasama, stabilitas kelompok, dan kesempatan berinterksi sosial.
4. Pemenuhan
kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat di aplikasikan dalam hal
penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan
pengakuan public terhadap performance yang baik.
5. Pemenuhan
kebutuahn aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan
dalam kreativitas dan tantangan pekerjaan.
Bila
ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow
di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep Maqasid Asy-Syari’ah. Bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh
Asy-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni
menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia,
satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah dimaklumi
bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam
mengarahkan kehdupan umat manusia di dunia ini.
Dalam
perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa
pemenuhan kebutuhan manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari
kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja
keras dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
4.
Implikasi
maqasid asy-syari’ah terhadap perilaku konsumen
Problematika
ekonomi manusia secara konvensional dikenal memiliki tiga dimensi, yaitu apa
yang diproduksi, bagaimana cara memproduksi, dan bagi siapa produksi itu
dilakukan.[10]
Permasalahan tersebut tidak akan timbul apabila sumber daya alam tidak terbatas
selaras dengan keinginan (wants)
manusia atau keinginan (wants)
manusia terbatas selaras dengan sumber daya alam yang tersedia. Dalam ekonomi Islam,
pendekatan yang dilakukan terhadap permasalahan ini berbeda dengan
konvensional. Islam justru mengajukan pertanyaan mendasar, mengapa terlibat
dalam aktivitas ekonomi?
Di
samping itu, problematika ekonomi manusia yang didefinisikan dalam teori
ekonomi konvensional masih menimbukkan ketidakjelasan. Hal ini setidaknya
terletak pada konsistensinya. Menurut teori ekonomi konvensional, problematika
ekonomi manusia timbul karena adanya kelangkaan sumber daya alam. Andaikan
kelangkaan tersebut dapat dihilangkan, apakah problematika tersebut
terpecahkan? Jelas tidak, karenan ketidakmampuan yang melekat pada berbagai
sumber daya alam materi untuk memuaskan seluruh keinginan manusia. Beberapa
ekonom barat seperti Galbraith, mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap
penggambaran tujuan dari sudut pandang keinginan (wants). Menurut Galbrait, bagaimana produksi dapat dipertahankan
sebgai alat pemuas keinginan jika produksi itu sendiri yang menciptakan
keinginan?
a.
Tujuan
Aktivitas Ekonomi Individu
Syariah
menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Asy-Syatibi
menggunakan isltilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia
senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan.
Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan
kemasahatan seperti didefinisikan syariah
harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di
akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut
sebagai kebutuhan (needs). Kebutuhan
inilah yang harus dipenuhi.
Pemenuhan
kebutuhan (fulfilling needs)
tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan inni adalah kewajiban
agama. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai
permasalahan ekonominya.
Pendekatan
bahwa keinginan (wants) tidak
terbatas sehubungan dengan kelangkaan sumber daya alam yang menetapkan
problematika ekonomi manusia mungkin menjelaskan perilaku ekonomi suatu
masyarakat kapitalis, akan tetapi, secara meyakinkan gagal untuk menjelaskan
perilaku beberapa masyarakat dunia tradisional. Para anggota masyarakat
tradisional tidak merasa termotivasi untuk memaksimalisasi kepuasan dari
keinginan mereka (wants) dengan
sumber daya alam yang tersedia bagi mereka karena mendapatkan kebutuhan mereka
telah terpenuhi secara mencukupi dan tidak merasa diwajibkan untuk memelihara
kepuasan dari keinginan mereka melebihi kebutuhan (needs) yang didefinisikan oleh diri mereka sendiri atau lingkungan
mereka.
Disisi
lain, teori ekonomi Islam mendefinikan problematika ekonomi dalam perspektif
tujuan tersebut. Pemenuhan tujuan tersebut menjadi kewajiban agama. Oleh karena
itu, Islam menjadi sebuah kekuatan pembangunan ekonomi, sekalipun terhadap
beberapa masyarakat tradisional yang tidak termotivasi oleh pendekatan
matrealistis untuk memaksimalkan the satisfaction
of wants. Dengan demikian, problematika ekonomi manusia adalah
pemenuhan kebutuhan (fulfilment needs) dengan sumber daya alam yang
tersedia.
b.
Efisiensi
Perhatian utama ilmu ekonomi konvensional
adalah efisiensi. Perhatian ini timbul secara langsung dari definisi mereka
tentang problematika ekonomi. Apabila wants
tidak terbatas, dan sumber daya alam langka kemudian satu-satunya solusi
masalah tesebut adalah economize
(penghematan). Inilah yang diebut dengan efisiensi, yaitu melakukan yang
terbaik dengan apa yang kita miliki. Apabila keinginan kita sebenarnya tidak
terbatas dan sumber daya alam terbatas, kita secara rasional tidak dapat
memuaskan seluruh keinginan material masyarakat. Hal terbaik berikutnya daalah
memperoleh kepuasan sebesar mungkin dari berbagai keinginan ini.
Dibandingkan dengan hal ini, dalam konteks
ilmu ekonomi Islam, efisiensi mungkin bukan perhatian utama. Sifat yang membuat
disenangi (desirability) mempunyai
kedudukan yang sama penting dengan efisiensi. Desirability senantiasa ditentukan oleh maslahah .
Pemenuhan
kebutuhan diperlukan sekali (desirability).
Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan dharuriyah
menempati prioritas utama. Seluruh sumber daya alam dicurahkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok tersebut. Kebutuhan dharuriyah
terbatas, dan sumber daya alam tidak akan mengalami kelangkaan untuk memenuhi
kebutuhan ini. Efisiensi dan desirability
secara serempak dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan hajiyat dan tahsiniyat .
Oleh karena itu, efisiensi dan desirability
secara bersama-sama mendapatkan perhatian utama dalam ilmu ekonomi Islam.
Ketika terjadi konflik antara keduannya, desirability
akan mempati prioritas yang lebih tinggi dari
pada efisiensi karena desirability
ditentukan oleh maslahah.
c.
Keinginan
(Wants) dan Kebutuhan (Needs)
Wants
dan needs berasal dari tempat yang
sama, yaitu naluri hasrat manusia. Namun, dalam framework Islami, seluruh hasrat manusia tidak bisa dijalankan
sebagai needs. Hanya hasrat yang
memiliki maslahah atau manfaat di dunia dan akhirat yang bisa dijadikan
sebagai needs. Dengan demikian konsep
wants adalah konsep yang bebas nilai,
sedangkan konsep needs adalah konsep
yang tidak bebas nilai. Dalam hal ini, Islam tidak memberikan dorongan kepada
manusia untuk mengukuti keinginannya, tetapi sebaliknya mendorong manusia untuk
memenuhi kebutuhannya seperti yang didefinisikan syariah.
d.
Maslahah vs Utilitas
Teori eokomi konvensional menggambarkan utility (nilai guna) sebagai sifat
barang atau jasa untuk memuaskan keinginan manusia. Ini berarti bahwa setiap
orang harus menentukan tingkat kepuasannya berdasaarkan kriteria yang
diciptakannya sendiri. Dengan kata lain, kepuasan ditentukan secara subjektif. Aktivitas
ekonomi untuk mendapatkan atau memproduksi sesuatu didorong oleh utility tersebut. Apabila sesuatu dapat
memberikan kepuasan kepada seseorang, manusia akan berusaha untuk mendapatkan,
memproduksi dan atau mengkonsumsi sesuatu tersebut.
Dalam ekonomi Islam, yang menjadi sifat
atau kekuatan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dunia
adalah maslahah. Seperti yang diungkapkan
Asy-Syatibi,
kemaslahatan hanya dapat dicapai
dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Dengan demikian, seorang muslim termotivasi secara keagamaan
untuk memeperoleh atau memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah
tersebut. Beberapa barang
atau jasa akan memiliki maslahah yang
berbeda-beda tergantung pada pertimbangan maqasid
asy-syaria’ah. Barang atau jasa yang
menjaga kelima unsur tersebut akan memiliki maslahah yang lebih besar dari pada barang atau jasa
yang hanya berfungsi sebagai penghias kelima unsur tersebut. Dengan demikian,
konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap
perilaku konsumen karena ditentukan oleh tujuan (maqasid ) syariah.
e.
Pembelanjaan
Seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syatibi,
kemaslahatan manusia mencakup
kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam ekonomi Islam, para konsumen harus
mengalokasikan pendapatan mereka di antara dua jenis pengeluaran, yaitu
pengeluaran di jalan Alllah SWT (secara eksplisit tidak memberikan keuntungan
duniawi) dan pengeluaran yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan duniawi
secara langsung. Pengeluaran di jalan Allah SWT mempunyai beberapa implikasi
terhadap berbagai kebijakan makroekonommi dalam konteks tabungan, investasi,
pertumbuhan, distribusi, pendapatan, pengangguran, inflasi, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Euis Amalia, Seajarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta:
Gramata, 2010
Nur
Chamid, MM, Jejak Langkah Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
[1]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam: Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Gramata Publishing,
2010), hlm. 252
[2]
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
Syariah Menurut al-Syaitibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm.24.
[3]
Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum
Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran al-Syaitibi, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1996), hlm. 111
[4]
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh,
(Kairo: Dar al-Kuwaitiyah: 1968), hlm. 32.
[5]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 7.
[6]
Fazlurrahman, Islam, (Bandung:
Penerbit Pustaka,1984), hlm. 140.
[7] Ibid., hlm. 150.
[8]
Ibid., hlm. 25.
[9]
Mustasfa Anas Zarqa, Islamic Economics:
Approach to Human Welfare, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (ed.), Radings in
The Concept and Methodology of Islamic Economics, (Selangor, Darul Ehsan:
Pelanduk Publication, 1989), hlm. 35-36.
[10]
Euis Amalia, op. cit., hlm. 255
Tidak ada komentar:
Posting Komentar