Selasa, 19 Juli 2016

PERLINDUNGAN KONSUMEN



Pendahuluan

Tidak terbantahkan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas kehidupan manusia dan bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan masyarakat modern. Dengan fenomena ini mustahil orang terlepas dari pengaruh bisnis sebagai konskwensinya, masyarakat adalah konsumen yang menjadi sasaran para produsen dimana-mana. Karena itu sangatlah logis jika dikatakan bahwa bisnis adalah bagian integral dari masyarakat di mana pun mereka berada dan akan mempengaruhi kehidupan mereka, baik positif maupun negatif.
Berdasarkan kanyataan di atas, dari perspektif hukum, sebagai aktivitas bisnis dituntut untuk menawarkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, dalam arti, tidak menawarkan sesuatu yang merugikan bagi manusia hanya demi meraih keuntungan sepihak. Para pelaku bisnis bisa saja berasumsi bahwasanya bisnis merupakan aktivitas netral, dimana mereka terpanggil untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Mereka beranggapan bahwa aktivitasnya hanya untuk memenuhi permintaan masyarkat tanpa mempertimbangkan apakah barang atau jasa yang diproduksi dan dipasarkan aman, halal, atau haram dikonsumsi. Atau, dengan kata lain, apakah sebuah produk itu berpotensi merugikan konsumen, baik dari aspek kesehatan maupun hukum. Sikap netral memang merupakan salah satu prinsip yang harus dipegang oleh para pelaku bisnis. Mereka menawarkan barang yang dibutuhkan manusia asalkan tidak mendikte, apalagi memaksa atau menipu konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang dihasilkan.
Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Berbagai fakta menunjukkan bahwa dalam banyak hal justru produsen itulah yang menciptakan kebutuhan bagi masyarakat dan bukan sekedar melayani kebutuhan yang sudah ada. Ambil saja contoh peralatan komputeer, elektronik,transportasi dan masih banyak lagi dengan merek mutakhir yang mampu menyulap atau menggeser perangkat-perangkat lama. Selama perangkat itu masih menjadi kebutuhan masyarakat sebagai piranti untuk memudahkan kehidupan manusia, tentu saja produk itu sah-sah saja. Namun, demikian lain lagi, jika motif produsen ingin memanfaatkan lemahnya posisi tawar (position bargaining) konsumen denga jalan melakukan berbagai modus penipuan yang berpotensi merugikan merekasebagia pengguna sebuah produk. Denga kata lain, dalam realitas, tidak jatang konsumen selalu dirugikan oleh perilaku produsen atau penjual dengan berbagai modus, baik aspek kualitas maupun kuantitas barang yang ditawarkan.
Dari aspek kualitas, seringkali ditemukan para penjual tidak secra transparan menawarkan produk, apakah kualitas satu, dua, atau tiga. Demikian pula dealam hal ukuran (kuantitas), tidak jarang ukuran barang yang diterima konsumen tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan atau apa yang tertulis. Selain itu, yang berkaitan dengan masalah halal atau haram, seringkali pula produsen tidak transparan, apakah barang yang diproduksi itu halal atau haram jika dikonsumsi (dipakai) oleh para konsumen Muslim. Karena adanya larangan oleh Islam untuk mengonsumsi barang yang haram, dan lain sebagainya.
Bertolak dari kenyataan di atas, dengan sendirinya dibutuhkan adanya perangkat legalitas formal untuk menentukan aturan main yang bisa melindungi kepentingan masyarakat atau konsumen. Dalam hal ini dibutuhkan aturan perundang-undangan yang meletakkan batasan-batasan minimal yang berfungsi untuk memandu, sekaligus mengatur kegiatan bisnis dalam kaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Hal ini dapat diwujudkan melalui undang-undang periklanan, undang-undang yang mengatur mengenai mutu produk dan lain sebagainya.
Namun demikian sebenarnya yang terpenting adalah kepada para pelaku bisnis diharapkan masih memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan tanggung jawab untuk memerhatikan efek kegiatan bisnisnya bagi masyarakat, baik yang menyangkut kehalalan, kesehatan, moral, budaya, sosial, dan ekonomi. Setelah itu untuk selanjutnya, diharapkan pula keepada pelaku bisnis agar memiliki kepekaan terhadap kepentingan masyarakat untuk tidak merugikan mereka hanya demi keuntungan sesaat bagi dirinya.
Tampaknya, respon Islam untuk menyelesaikan problem rumit itu - dalam kaitan dengan perlindungan dan perlakuan terhadap konsumen - sangat berbeda dari respons ekonomi pasar atau ekonomi “komando”. Walaupun sebagian orang membenarkan pendapat yang megatakan bahwa suatu masyarakat terlebih dahulu harus melakukan tugas-tugas produksi sebelum memulai persoalan distribusi, tetapi dalam ekonomi Islam, distribusilah yang harus menggiatkan produksi dan konsumsi. Dengan kata lain, pernyataan pertama yang harus dikemukakan menurut Islam adalah “Untuk siapakah barang dan jasa dihasilakan?” selanjutnya, pertanyaan relevan yang lain adalah “Barang dan jasa apa yang dihasilkan?” dan “Bagaimana cara menghasilkannya?” pertanyaan-pertanyaan krusial ini pada hakikatnya ingin melindungi kepentingan konsumen selaku pengguna dari sebuah produk baik yang berupa barang ataupun  jasa. Bagi konsumen Muslim sudah tentu setiap barang yang dikonsumsi harus halal dan baik (halalan thayyibatan), disamping prosesnya harus memperhatikan norma-norma Islam.
Dalam ajaran Islam, pelaksanaan perekonomian sepenuhnya berdasarkan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran, Sunnah rasul, dan ajaran yang terkandung di dalam kehidupan para sahabat. Di dalamnya diterangkan mengenai prinsip-prinsip keseimbagan dan toleransi yang salah satunya membahas masalah perlindungan terhadap konsumen. Dengan adanya perlindungan maka diharapkan kehidupan masyarakat akan semakin baik, aman, dan terhindar dari tidakan yang merugikan konsumen. Atau yang tidak kalah pentingnya adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari adanya kesadaran produsen (pelaku usaha), sehingga kedua belah pihak yaitu konsumen dan produsen tidak saling dirugikan. Bahkan sebaiknya, saling menguntungkan.

Bab II
Pembahasan

A.  Pengertian Konsumen

            Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen didefinisikan sebagai “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang terseedia dalam masyarakat , baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”.[1] Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi, seperti badan hokum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat dan adanya batasan-batasan yang samar.[2]
Pendapat lain merumuskan bahwa konsumen adalah setiap individu atau kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikin khusus, produk, atau pelayanan dan kegiatan, tanpa memperhatikan apakah ia berasal dari pedagang, pemasok, produsen pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri ataukah secara kolektif.[3]
Dalam Islam tampaknya belum dikonkretkan secara definitive siapakah sebenarnya konsumen itu. Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara sempit menyinggung bahwa konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun secara ketat dengan sederetan larangan (yakni: makan babi, minum-minuman keras, mengenakan pakaian sutera dan cicncin emas untuk pria, dan seterusnya).[4]
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah rumusan pengertian dari sebuah rumusan pengertian dari sebuah definisi konsumen. Namun, hanya menggambarkan secara sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh seorang konsumen muslim. Oleh karena itu, sebagai gambaran yang dimaksud konsumen - menurut penulis – adalah “Setiap orang atau badan pengguna produk baik berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.” Bagi  konsumen muslim dalam mengonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus halal dan baik. Oleh karena itu, disinilah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan konsumen sesuai dengan nilai etis yang bersumber dari ajaran keyakinan yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perdagangan yang berlaku. 

B.   Hak dan Kewajiban Konsumen

            Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakain penting. Untuk pemberdayaan itu di Negara Indonesia telah telah dibuat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.[5]
            Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu pasal yang mengatur hak-hak konsumen serta kewajiban konsumen.
1.      Hak Konsumen (Pasal 4)
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

2.      Kewajiban Konsumen (Pasal 5)
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
Dengan terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Yang penting adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-hak konsumen yang pantas diperoleh. Selain itu, konsumen juga harus menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing. Apa yang menjadi hak konsumen merupakan kewajiban bagi prousen. Begitu sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban konsumen menjadi hak produsen. Dengan saling menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-masing, maka akan terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana yang diajarkan dalam ekonommi Islam. Dengan prinsip keseimbagan akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala aktivitassnya tidak hanya mementingkan diri sendiri, namun juga harus mementingkan kepentingan orang lain. 
Apa yang tertuang di dalam undang-undang di atas secara eksplisit dan subtansial sebenarnya sama dengan ajaran etika Islam. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa dimaksudkan agar barang konsumsi benar-benar aman untuk kesehatan dan aman untuk agama bagi konsumen muslim. Dalam hal ini, setiap  produk dituntut untuk memiliki bahan baku yang aman, prosesnya benar, dan hala zatnya. Sehingga mampu menjawab dan mempraktikkan pertanyaan-pertanyaan untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang dan jasa apa yang dihasilkan, dan bagaimana cara menghasilkannaya. Hal ini menunjukkan bahwa para pelaku bisnis (produsen) telah melindungi kepentingan konsumen sesuai yang diinginkan dalam etika bisnis Islam.[6]
Selanjutnya hak untuk memilih barang yang di dalam Islam dikenal dengan istilah khiyar, dimaksudkan agar konsumen agar konsumen diberi kebebasan untuk mendapatkan barang dan jasa sesuai dengan selera (keinginannya).[7] Selain itu,, ia juga perlu mendapat kualitas barang sesuai dengan harga yang ditetapkan dan disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan oleh pelaku bisnis terhadap konsumen karena bias jadi barang yang telah diperoleh tidak sesuai dengan harga yang dibayar. Pelaku bisnis bias saja mempermainkan harga dengan cara menaikkannya (mark up) dari harga normal. Justru karena itu, Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya secara umum telah melarang permainan harga:
“Barang siapa yang melakukan sesuatu untuk memengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan tujuan untuk menaikkan harga tersebut, maka sudah menjadi hak Allah untuk menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)[8]
Semua itu sangat tergantung kepada keadilan, kejujuran, dan keterbukaan para pelaku bisnis (produsen). Karena tidak adanya kebebasan konsumen dalam memilih suatu barang akibat mekanisme pasar yang monopolistic, maka  Nabi Muhammad SAW dengan tegas melarang praktik monopoli,[9] karena dapat menyebabkann nilai tukar yang tidak seimmbang dalam jual beli. Dengan demikian dapat diprediksi factor yang mempengaruhi terjadinya harha yang tidak normal di masyarakat. Diantaranya: permainan harga yang disebabkan karena praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al-ikhtikar) penyalahgunaan kelemahan konsumen karena keluguannya (istirsal), karena tidak terpelajar atau karena keadaan konsumen yang sedng terdesak untuk memenuhi kebutuhannya (dharurah) karena penipuan dan informasi yang tidak akurat atau tidak informatif (ghurur)[10]
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fiqh Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-ta’sir (fixing price), pemberlakuan khiyar al-ghubun al-fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar al-mustarsil (karena tidak tahu harga sehingga ia membeli atas kepercayaan pada pedagang) larangan jual beli an-najasy, larangan jual-beli talaqi rukban dan jual-beli al-hadhir li bad.
Demikian pula dalam hubungan dengan hak mendapat advokasi jika sekiranya terjadi sengketa, pada prinsipnya Islam mengedepankan adanya perdamaian (al-shulhu). Tetapi jika sekiranya tidak ditemukan jalan keluarnya maka cara penyelesaiannya perlu melalui arbitrase (al-tahkim). Hanya saja pada umumnya yang dimenangkan adalah pihak produsen sehingga disinilah perlu diciptakan dewan pengawas yang dikenal dengan sebutan al-hisbah di Negara Islam. Dewan ini bisa saja ikut membela hak-hak konsumen agar terhindar dari arogansi pelaku bisnis. Atau perlu adanya dewan pengawas syariah yang berfungsi untuk mengantisipasi dan kontrol adanya penyimpangan hokum secara syariah. Di Indonesia tugas penyelesaian kasus semacam ini antara lain bias melalui badan peradilan niaga.
Selain itu, jika sekiranya konsumen melakukan klaim karena merasa dirugikan karena ternyata barang yang diterima mengandung cacat dengan maksud untuk mendapat ganti rugi. Apabila suatu barang telah rusak di tangn pembeli, kemudian ia mengetahui bahwa terdapat cacat barang tersebut, maka jika bersandar pada pendapat al-Khatib al-Syarbainiy, pembeli berhak menuntut kerugian senilai cacat yang terjadi, dengan cara perhitungan nilai apabila barang terseebut sempurna. Sedangkan patokan harga diambil dari harga terendah pada hari terjadi transaksi. Ibnu ‘Abidin menyatakan bahwa patokan harga sesuai dengna waktu dan tempat transaksi, namun apabila mata uang yang berlaku ketika akad tidak brelaku lagi pada saat ganti rugi, maka yang dituntut nilainya (al-qimah) bukan barang semisal (al-mitsl).
Jika sekiranya pelaku bsnis tidak mau tahu (membangkang) atas kerugian yang diderita oleh konsumen, padahal sudah jelas terbukti, maka menurut Ibnu Taimiyah perlu diberlakukan hukum hudud Allah dan hak publik (huquq Allah). Secara hukum dan moral bagaimanapun seseorang tidak boleh merampas skecil apa pun hak orang lain, dalam arti ia harus mengganti kerugian itu kepada yang berhak. Bagi yang mempunyai kesadaran hukum tentu saja ia tidak akan menunggu sampai diberlakukannya hukum hudud. Dengan kesadaran hukumnya ia akan mengganti kerugian itu kepada siapa pun yang berhak, dalam hal ini adalah konsumen.
Dalam  Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha secara gariss besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.
1.      Sanksi Adminnistratif (pasal 60)
1)      Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif pada pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
2)      Sanksi admministratif berupapenetapan ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
3)      Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.      Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana menegaskan bahwa penuntutan pidana dapat dilakukan pada pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
1)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)
2)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda aling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3)      Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berikutnya, pasal 63, dikatakan:
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa:
a.       Perampasan barang tertentu;
b.      Pengumuman keputusan hakim;
c.       Pembayaran ganti rugi;
d.      Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.       Kewajiban penarikanbarang dari peredaran; dan
f.       Pencabutan izin usaha.
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik hukum syariah maupun hukum positif (perundang-undangan nasional), pada dasarnya sama-sama memberikan komitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen. Perlakuan perlindungan terhadap konsumen tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi tujuan pokok adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan yang ingin mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan,keamanan, dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat dalam kehidupan.

C.   Prinsip Konsumsi dalam Islam: Entry Point Menuju Terciptanya Supremasi Hukum

Konsumsi adalah perminataan (demand), sedangkan produksi adalah (supply). Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui keinginan matrealistis semata sebagaimana pola konsumsi modern. Semakin tinggi peradaban sebuah komunitas, berkecenderungan untuk meningkatkan kebutuhan fisiologik mereka karena dorongan faktor psikologik. Harga diri seseorang tidak lagi diukur dari aspek yang bersifat spiritual, tetapi dari apa yang tampak secara fisik, yang antara lain bisa berupa seberapa banyak kendaraan yang dimiliki, bagaimana kualitas baju yang dipakai, seberapa banyak uang yang ditabung atau diinvestasikan, dan masih banyak lagi. Inilah fenomena yang sangat menonjol di era modern dewasa ini yang menjadikan kebendaan (harta) sebagai parameter status sosial seseorang.
Pandangan terhadap atmosfer kehidupan seperti itu sangat berbeda dengan konsepsi nilai Islami. Ajaran Islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang hampir tanpa batas, untuk bisa menghasilkan energi dalam mengejar cita-cita spirirtualnya. Perkembangan batiniah telah dijadikan cita-cita tertinggi dan mulia dalam hidup. Sekali pun diakui bahwa manusia butuh materi sebagai pemuas kebutuhan fisiko-biologisnya, namun bagaimana kebutuhan spiritual tetap harus dikedepankan. Sikap semacam ini tentu saja akan berpengaruh pada bagaimana cara seorang  konsumen mengonsumsi sebuah produk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini Islam telah menetapkan prinsip-prinsip konsumsi yang seyogyanya menjadi panduan bagi produsen selaku penghasil produk dan bagi konsumen sebagai penikmat produk.
Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan M. Abdul Mannan sebagai berikut:
1.      Prinsip keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang maksudnya, dalam mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang halal dan tidak dilarang hukum, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran:

“Hai sekalian manusia, makanah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di dalam bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”
Kata “halal” dimaksudkan bahwa cara memperolehnya harus sah secara hukum, memperhatikan prinsip keadilan, dalam arti tidak menipu dan merampas harta orang lain, karena apabila tidak, maka harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai yang haram untuk dimakan. Karena itu, alangkah bahagia dan mulianya orang yang mengedepankan prinsip keadilan, baik dalam mencari rezeki maupun dalam mengonsumsinya. Kemuliaan itu tidak hanya di hadapan sesama manusia, bahkan lebih jauh dari itu, yakni kemuliaan di hadapan Tuhan.
2.      Prinsip kebersihan
“Halal” dalam prinsip yang pertama, bisa saja dikatakan bersih secara yuridis. Lain halnya dengan prinsip yang kedua yang menekankan adanya keberihan. Kata “bersih” di sini dimaksudkan dalam arti lahir (fisik). Faktor kebersihan memegang peran yang sangat diutamakan dalam ajaran Islam. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai kita diingatkan bahwa memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin kualitas keimanan seorang hamba. Oleh karena itu arahan al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan makanan, hendaknya makanan itu harus yang baik dan layak untuk dimakan, tidak kotor atau pun menjijikkan sehingga merusak selera. Secara tegas Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa kebersihan itu dalam segala hal adalah sebagian dari iman. Selain itu, Rasulullah saw mengatakan “Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan sesudah makannya” (HR. Tirmizi). Namun, demikian sisi lain yang perlu disadari bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah keniscayaan sebagai prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat dianjurkan dalam ilmu medis.
Bagi kalangan pelaku bisnis memperhatikan kebersihan barang yang diproduksi adalah merupakan sebuah kewajiban. Bersih dalam arti steril dari zat yang dilarang dikonsumsi secara hukum, sekaligus juga bersih dalam arti arti fisik zatnya sehingga aman dan layak untuk dikonsumsi oleh konsumen secara medis.
3.      Prinsip kesederhanaan
Prinsip ketiga ini menekankan agar dalam mengkonsumsi makanan dan minuman manusia tidak berlebih-lebihan, sesuai dengan firman-Nya:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”
“Israf” yang berarti berlebihan, merupakan simbol keserakahan dalam hal apapun, berarti seseorang berada dalam titik ekstrem yang sering kali menimbulkan kesenjangan di tengah kehidupan. Berlebihan dalam hal makanan, berarti seseorang dikendalikan oleh nafsu perut. Apabila berkelanjutan, nafsu itu akan menambah pada nafsu ingin berkuasa, karena dengan kekuasaan seseorang akan berlimpah fassilitas. Dengan fasilitas yang berlebih seseorang akan mudah mengumpulkan harta yang bisa memfasilitasi keinginan nafsu perut dan seksualnya. Demikan seterusnya sirkulasi kehidupan manusia yang dikendalikan oleh nafsu serakah. Jika nafsu itu menguasai pelaku bisnis (produsen, bukanlah mustahil ia akan memperlakukan konsumen hanya untuk mengeruk keuntungan diri sendiri. Di sinilah relevansi perlunya Islam melarang seseorang berlebihan dalam hal makan dan minum. Tentu saja larangan ini bisa kita eksplanasikan pada kebutuhan yang lain.
4.      Prinsip kemurahan hati
Dengan menaati perintah Islam, maka tidak akan ada bahaya maupun dosa dalam mengkonsumsi makanan dan minuman halal yang dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-Nya. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa di luar batas kemampuan manusia (darurat-emergency) ketentuan itu bisa saja disampingi dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Pada hakikatnya semua rezeki yang kita konsumsi adalah anugerah Allah yang diamanatkan kepada manusia di muka bumi. Karena itu sangatlah logis jika kita dalam memiliki dan mengkonsumsi harta tidak boleh berlebihan, karena di dalam apa yang kita miliki itu ada hak orang lain yang harus ditunaikan. Hak-hak itu secara umum bisa berupa zakat, infaq, dan sadaqah.
Namun dalam hal-hal khusus bagi seorang pelaku bisnis, kemurahan hati itu bisa terwujud dalam bentuk melindungi konsumen dari segala bentuk modus kecurangan, seperti harta yang pantas, kualitas barang yang wajar, takaran yang jujur, dan lain sebagainya. Sikap murah hati adalah salah satu sifat Allah swt yang harus dibumikan oleh manusia di dunia sebagai wujud ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Apabila tidak, justru akan terjadi hal yang sebaliknya, pelaku bisnis akan selalu menjadikan konsumen sebagai sasaran pemasaran demi meraih keuntungan yang melimpah bagi dirinya sendiri. Justru karena itu bagi setiap pelaku bisnis Muslim harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari khalifah Allah di bumi yang harus selalu menebar “rahmah” dalam menjalankan profesinya, sehingga konsumen merasa aman dan nyaman dalam mengkonsumsi setiap produk yang dipasarkan.
5.      Prinsip moralitas
Berakhlak dalam Islam tidak hanya dialamatkan kepada sesame manusia, tetapi juga kepada diri sensiri, lingkungan (alam) sekitar, dan bahkan terhadap Tuhan sekalipun. Wujud terima kasih kepada Tuhan di dalam mengelola dan mengkonsumsi harta hendaknya kita mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya.  Apa pun yang kita makan dan kita minum yang diperoleh denga cara yang halal sama halnya dengan menghargai diri sendiri dan hormat kepasa Tuhan. Menjaga lingkungan alam karena sebagian telah kita konsumsi sama halnya engan menghargai lingkungan dan menaaati ajaran Tuhan. Demikian seterusnya. Dalam kita mengkonsumsi dituntut agar selalu ingat kepada-Nya, karena Islam menghendaki perpaduan nila-nilai hidup material dan spiritual secara simultan.
Bagi para pelaku bisnis yang berpegang teguh pada prinsip moralitas merupakan prakondisi ketaatan mereka pada hukum yang berlaku, baik hukum yang bersumber dari akal manusia maupun yang bersumber dari ajaran wahyu. Sebagai konsekuensinya, mereka akan selalu melindungi segala hak konsumen sebagai bagian dari ajaran hukum apa pun secara universal.

D.  Gerakan Konsumen: Upaya Advokasi Terhadap Distorsi Hukum

Sebagaimana telah disinggung sebelum ini bahwa untuk mengatasi dan mengantisipasi pengaruh kekuatan produsen yang cenderung merugikan konsumen dipelukan keterlibatan pemerintah sebagai pemegang hak otoritas dalam sebuah negara. Dalam hal ini pemerintah bisa melakukan pengawasan dan pengaturan (regulasi) yang bisa memaksa para pelaku bisnis untuk menghormati hak orang lain. Tetapi, dalam praktiknya, hal ini tidak mudah dilakukan sehingga pada akhirnya lahirlah gerakan dari kalangan masyarakat yang disebut dengan Gerakan Konsumen. Ini berarti, untuk melawan arogansi produsen belum cukup dilakukan pemerintah (top down) semata, namun tampaknya harus juga didukung oleh masyarakat secara umum (bottom up). Oleh kerena dengan modal yang memadai, produsen seakan-akan merasa mempunyai posisi tawar yang semakin kuat. Akibatnya pemerintah dibuat kurang berdaya yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat selaku konsumen dari semua produk yang beredar.
Sebenarnya gerakan dan pengawasan pemerintah tidak diperlukan lagi jika sekiranya dalam diri para pelaku bisnis ada kesadaran bahwa penagawan Allah stw jauh lebih teliti dari pada pengawasan manusia. Ada kesadaran bahwa mementingkan kehidupan akhirat jauh lebih penting dari pada mengejar kepentingan duniawi yang sesaat dan berjangka pendek. Bersumber dari kesadaran seperti ini lah yang akan mengetuk hati para pelaku bisnis agar tidak melakukan bisnis yag merugikan konsumen. Dengan kata lain, para produsen akan memperlakukan konsumen secara adil, transparan, jujur, dan lain sebagainya, dan hal ini baru akan berjalan dengan tulus jika dilandasi oleh kesadaran hukum yang bernuansakan nilai spiritual.
            Selanjutnya pada bagian ini agar lebih jelas akan dikemukakan latar belakang lahirnya gerakan konsumen sebagaimana dikemukakan A. Sonny Keraf sebagai berikut.
1.    Banyaknya produsen berhati emas dan punya kesadaran moral yang tinggi, namun hati dan kesadaran moralnya itu sering dibungkam oleh keinginan untuk mendapat keuntungan atau uang dalam waktu singkat dari pada memperdulikan hak konsumen;
2.    Di banyak negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, para produsen lebih dilindungi oleh pemerintah karena mereka dianggap punya jasa besar dalam menopang perekonomian jasa tersebut. Akibatnya, kepentingan mereka lebih diamankan pemerintah dari pada kepentingan konsumen;
3.    Dalam sistem sosial politik dimana kepastian hukum tidak jalan, pihak produsen akan dengan mudah membeli kekuasaan untuk melindunga kepentingannya terhadap tuntutan konsumen. Kalau pun konsumen menuntut, pihak produsen selalu merasa diri di atas angin;
4.    Konsumen, (individual khususnya) merasa rugi kalau harus menuntut produsen dan karena itu ia selalu berada dalam posisi yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa benar-benar digunakan sebagai kekuatan konsumen di mana keluhan mereka melalui rubik surat pembaca punya dampak efektif mempengaruhi produsen.
            Menurut Keraf, salah satu syarat bagi terpenuhi dan terjaminnya hak-hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka dan dibebaskan bagi semua pelaku ekonomi, termasuk produsen dan konsumen. Pasar terbuka dan bebas akan berfungsi semaksimal mungkin untuk menjamin kepentingan konsumen dan juga kepentinga produsen. Bagi konsumen, hanya dengan pasar terbuka dan bebas mereka bisa leluasa mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari berbagai perusahaan yang pada akhirnya bisa menentukan pilihannya secara bebas dan tepat.
            Selain itu, salah satu langkah yang sangat berpengaruh adalah Gerakan Konsumen. Gerakan ini lahir (sebagaimana telah dijelaskan) karena didasari adanya penggunaan kekuatan bisis yang tidak fair. Dan dirasakan adanya praktik bisnis yang merugikan hak dan kepentingan konsumen yang apabila tidak ditanggapi dalam bentuk sebuah “gerakan” akan semakin merugikan konsumen.
            Di samping alasan tersebut, gerakan konsumen di Barat lahir karena berbagai pertimbagan, yaitu:
1.      Kebutuhan akan informasi dan pedoman yang akurat tentang berbagai produk yang beredar di masyarakat;
2.      Kebutuhan akan informasi dari produk jasa yang semakin terspesialisasi untuk membantu konsumen agar bisa mengambil keputusan mana yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka;
3.      Adanya pengaruh iklan yang sering kali membuat konsumen kebingungan dan tidak jarang menipu atau merugikan mereka;
4.      Kurang perhatiannya keamanan produk secara serius oleh produsen;
5.      Kebutuhan konsumen akan wadah konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk menuntut hak dan kepentingannya sesuai dengan prinsip kontrak jual beli yang adil.
            Dikatakan bahwa kehadiran konsumen, khusunya yang dilembagakan, ternyata mengalami banyak kesulitan. Salah satunya adalah masalah pendanaan bagi kelangsungan dan pengoperasian lembaga. Sesungguhnya masalah ini bisa dicarikan jalan keluarnya, jika sekiranya pemerintah memprioritaskan akan kehadirannya. Namun, karena lembaga ini merupakan lembaga swadaya masyarakat perhatian itu dirasa kurang, dan bahkan sering kali berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Akhirnya lembaga ini terpaksa menarik dana dari masyarakat, khususnya konsumen, karena jika dilihat dari fungsinya lembaga ini melakukan penelitian dan mengumpulkan informasi yang akurat. Hasilnya diharapkan dapa dikonsumsi oleh konsumen dengan kompensasi kepada mereka diminta untuk membantu segala biaya yang dikeluarkan.
            Akan tetapi dalam realitasnya, lembaga ini mengalami masalah kerena konsumen cenderung untuk tidak mau membayar harga infomasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh mereka. Hal ini disebabkan karena konsumen pada dasarnya kurang memahami nilai dari sebuah informasi yang bisa melindungi segala kepentingannya. Sekali pun dalam praktik menunjukkan demikian, nampaknya lembaga konsumen masih terus berjuang untuk hadir di tengah masyarakat sambil menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga sumber informasi yang dipercaya dan dibutuhkan oleh konsumen.
            Dari kenyataan di atas dapat dipahami bagaimana pun kehadiran sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini tetap dibutuhkan guna melindungi pihak yang selalu diposisikan di tempat marjinal. Kehadiran institusi ini antara lain untuk menyeimbagkan antara hak dan kewajiban produsen dan konsumen. Jika sekiranya keseimbagan itu mulai terwujud maka dapat dikatakan bahwa supremasi hukum sudah mulai terbangun di tengah maraknya distorsi hukum yang semakin memprihatinkan.

Bab III
Kesimpulan


            Konsumen adalah setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Bagi konsumen Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus halal, baik dan aman, karena itulah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan konsumen sesuai dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama yang mereka anut tanpa mengabaikan aturan perundang-undangan negara yang berlaku.
            Seorang konsumen memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Di Indonesia, hal itu diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Secara eksplisit dan substansial undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban konsumen sama dengan ajaran Islam. Misalnya hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa dimaksudkan agar konsumen Muslim dalam memakan dan memakai produk benar-benar aman kesehatannya dan aman agamanya. Apabila seorang pelaku usaha tidak dapat memenuhi hak seorang konsumen, maka pelku usaha dapat dikenai sanksi.
            Dalam Islam, dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa harus sesuai dengan lima prinsip konsumsi yang dikemukakan oleh M. Abdul Mannan. Prinsip tersebut adalah prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan prinsip moralitas. Untuk itu, seorang pelaku usaha harus mampu memenuhi prinsip konsumsi agar sesuai dengan aturan yang ada. Dengan demikian diharakan bahwa supremasi hukum dapat terwujud.
            Untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen, mereka bergabung menjadi satu dalam Gerakan Konsumen. Selain itu, pemerintah juga dapat melindungi konsumen dengan melakukan pengawasan bagi pelaku usaha. Dengan demikian dapat tercipta keseimbangan antara hak dan kewajiban yang saling menguntungkan bagi produsen dan konsumen.


[1] Undang-undang RI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, pasal 1
[2] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 2
[3] Muhammad Djakfar, hlm. 141
[4] Mannan , Teori, hlm.50
[5] Undang-undang RI No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, pasal 4

[6] Muhammad Djakfar, hlm. 145
[7] Naqvi, Menggagas, hlm.126-128
[8] Dalam al-Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), Jiid 5, No. 28
[9] Qardawi, Peran, hlm. 321-326
[10] Muhammad, Etika, hlm.174

2 komentar:

  1. Videoslots - YouTube VideoLists.cc
    Videoslots.cc is an independent site and part of the British online gambling industry. We provide instant access to youtube to mp3 convert over 250 million views ‎videoslots · ‎videoslots

    BalasHapus
  2. Casino in Norwich, Connecticut - MapYRO
    Find the 바카라 양방 best Casino in Norwich, Connecticut, United States, located in real-time at MapYRO. Get 서산 출장안마 Directions, 출장안마 Phone Number, Address, Reviews, Games, Promotions,  Rating: 2.9 군산 출장안마 · ‎13 경상북도 출장안마 reviews

    BalasHapus