Pendahuluan
Tidak terbantahkan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas
kehidupan manusia dan bahkan telah merasuki semua sendi kehidupan masyarakat
modern. Dengan fenomena ini mustahil orang terlepas dari pengaruh bisnis
sebagai konskwensinya, masyarakat adalah konsumen yang menjadi sasaran para
produsen dimana-mana. Karena itu sangatlah logis jika dikatakan bahwa bisnis
adalah bagian integral dari masyarakat di mana pun mereka berada dan akan
mempengaruhi kehidupan mereka, baik positif maupun negatif.
Berdasarkan kanyataan di atas, dari perspektif hukum,
sebagai aktivitas bisnis dituntut untuk menawarkan sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, dalam arti, tidak menawarkan sesuatu yang merugikan bagi manusia hanya
demi meraih keuntungan sepihak. Para pelaku bisnis bisa saja berasumsi bahwasanya
bisnis merupakan aktivitas netral, dimana mereka terpanggil untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Mereka beranggapan bahwa aktivitasnya hanya untuk
memenuhi permintaan masyarkat tanpa mempertimbangkan apakah barang atau jasa
yang diproduksi dan dipasarkan aman, halal, atau haram dikonsumsi. Atau, dengan
kata lain, apakah sebuah produk itu berpotensi merugikan konsumen, baik dari
aspek kesehatan maupun hukum. Sikap netral memang merupakan salah satu prinsip
yang harus dipegang oleh para pelaku bisnis. Mereka menawarkan barang yang
dibutuhkan manusia asalkan tidak mendikte, apalagi memaksa atau menipu konsumen
untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang dihasilkan.
Namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Berbagai fakta
menunjukkan bahwa dalam banyak hal justru produsen itulah yang menciptakan
kebutuhan bagi masyarakat dan bukan sekedar melayani kebutuhan yang sudah ada.
Ambil saja contoh peralatan komputeer, elektronik,transportasi dan masih banyak
lagi dengan merek mutakhir yang mampu menyulap atau menggeser
perangkat-perangkat lama. Selama perangkat itu masih menjadi kebutuhan
masyarakat sebagai piranti untuk memudahkan kehidupan manusia, tentu saja
produk itu sah-sah saja. Namun, demikian lain lagi, jika motif produsen ingin
memanfaatkan lemahnya posisi tawar (position bargaining) konsumen denga jalan
melakukan berbagai modus penipuan yang berpotensi merugikan merekasebagia
pengguna sebuah produk. Denga kata lain, dalam realitas, tidak jatang konsumen
selalu dirugikan oleh perilaku produsen atau penjual dengan berbagai modus,
baik aspek kualitas maupun kuantitas barang yang ditawarkan.
Dari aspek kualitas, seringkali ditemukan para penjual
tidak secra transparan menawarkan produk, apakah kualitas satu, dua, atau tiga.
Demikian pula dealam hal ukuran (kuantitas), tidak jarang ukuran barang yang
diterima konsumen tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan atau apa yang
tertulis. Selain itu, yang berkaitan dengan masalah halal atau haram,
seringkali pula produsen tidak transparan, apakah barang yang diproduksi itu
halal atau haram jika dikonsumsi (dipakai) oleh para konsumen Muslim. Karena
adanya larangan oleh Islam untuk mengonsumsi barang yang haram, dan lain
sebagainya.
Bertolak dari kenyataan di atas, dengan sendirinya
dibutuhkan adanya perangkat legalitas formal untuk menentukan aturan main yang
bisa melindungi kepentingan masyarakat atau konsumen. Dalam hal ini dibutuhkan
aturan perundang-undangan yang meletakkan batasan-batasan minimal yang
berfungsi untuk memandu, sekaligus mengatur kegiatan bisnis dalam kaitan dengan
kepentingan masyarakat luas. Hal ini dapat diwujudkan melalui undang-undang
periklanan, undang-undang yang mengatur mengenai mutu produk dan lain
sebagainya.
Namun demikian sebenarnya yang terpenting adalah
kepada para pelaku bisnis diharapkan masih memiliki kesadaran hukum yang tinggi
dan tanggung jawab untuk memerhatikan efek kegiatan bisnisnya bagi masyarakat,
baik yang menyangkut kehalalan, kesehatan, moral, budaya, sosial, dan ekonomi.
Setelah itu untuk selanjutnya, diharapkan pula keepada pelaku bisnis agar
memiliki kepekaan terhadap kepentingan masyarakat untuk tidak merugikan mereka
hanya demi keuntungan sesaat bagi dirinya.
Tampaknya, respon Islam untuk menyelesaikan problem
rumit itu - dalam kaitan dengan perlindungan dan perlakuan terhadap konsumen -
sangat berbeda dari respons ekonomi pasar atau ekonomi “komando”. Walaupun
sebagian orang membenarkan pendapat yang megatakan bahwa suatu masyarakat
terlebih dahulu harus melakukan tugas-tugas produksi sebelum memulai persoalan
distribusi, tetapi dalam ekonomi Islam, distribusilah yang harus menggiatkan
produksi dan konsumsi. Dengan kata lain, pernyataan pertama yang harus
dikemukakan menurut Islam adalah “Untuk siapakah barang dan jasa dihasilakan?”
selanjutnya, pertanyaan relevan yang lain adalah “Barang dan jasa apa yang
dihasilkan?” dan “Bagaimana cara menghasilkannya?” pertanyaan-pertanyaan
krusial ini pada hakikatnya ingin melindungi kepentingan konsumen selaku
pengguna dari sebuah produk baik yang berupa barang ataupun jasa. Bagi konsumen Muslim sudah tentu setiap
barang yang dikonsumsi harus halal dan baik (halalan thayyibatan), disamping prosesnya harus memperhatikan
norma-norma Islam.
Dalam ajaran Islam, pelaksanaan perekonomian
sepenuhnya berdasarkan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran, Sunnah rasul, dan
ajaran yang terkandung di dalam kehidupan para sahabat. Di dalamnya diterangkan
mengenai prinsip-prinsip keseimbagan dan toleransi yang salah satunya membahas
masalah perlindungan terhadap konsumen. Dengan adanya perlindungan maka
diharapkan kehidupan masyarakat akan semakin baik, aman, dan terhindar dari
tidakan yang merugikan konsumen. Atau yang tidak kalah pentingnya adalah untuk
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Tentu saja hal ini tidak terlepas dari adanya kesadaran produsen (pelaku
usaha), sehingga kedua belah pihak yaitu konsumen dan produsen tidak saling
dirugikan. Bahkan sebaiknya, saling menguntungkan.
Bab
II
Pembahasan
A.
Pengertian
Konsumen
Dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen
didefinisikan sebagai “Setiap orang pemakai barang atau jasa yang terseedia
dalam masyarakat , baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan”.[1]
Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal yang tidak
tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga dilindungi, seperti badan
hokum, badan usaha, barang yang tidak ditawarkan dalam masyarakat dan adanya
batasan-batasan yang samar.[2]
Pendapat
lain merumuskan bahwa konsumen adalah setiap individu atau kelompok yang
menjadi pembeli atau pemakai akhir dari kepemilikin khusus, produk, atau
pelayanan dan kegiatan, tanpa memperhatikan apakah ia berasal dari pedagang,
pemasok, produsen pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri ataukah
secara kolektif.[3]
Dalam
Islam tampaknya belum dikonkretkan secara definitive siapakah sebenarnya
konsumen itu. Mengutip pendapat M. Abdul Mannan secara sempit menyinggung bahwa
konsumen dalam suatu masyarakat Islam hanya dituntun secara ketat dengan
sederetan larangan (yakni: makan babi, minum-minuman keras, mengenakan pakaian
sutera dan cicncin emas untuk pria, dan seterusnya).[4]
Apa
yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah rumusan pengertian dari
sebuah rumusan pengertian dari sebuah definisi konsumen. Namun, hanya
menggambarkan secara sederhana mengenai perilaku yang harus dipatuhi oleh
seorang konsumen muslim. Oleh karena itu, sebagai gambaran yang dimaksud
konsumen - menurut penulis – adalah “Setiap orang atau badan pengguna produk
baik berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan
yang berlaku.” Bagi konsumen muslim
dalam mengonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus halal dan baik. Oleh karena
itu, disinilah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan konsumen sesuai
dengan nilai etis yang bersumber dari ajaran keyakinan yang mereka anut tanpa
mengabaikan aturan perdagangan yang berlaku.
B.
Hak
dan Kewajiban Konsumen
Pada
era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan
teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen semakain penting. Untuk
pemberdayaan itu di Negara Indonesia telah telah dibuat Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.[5]
Dalam
hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu pasal yang mengatur
hak-hak konsumen serta kewajiban konsumen.
1.
Hak Konsumen (Pasal 4)
a. Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b. Hak
untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan atau
jasa.
d. Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan.
e. Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
f. Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak
unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang
dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
2.
Kewajiban Konsumen (Pasal 5)
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut
Dengan terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan kepada pelaku
bisnis untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa
dirugikan. Yang penting adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-hak
konsumen yang pantas diperoleh. Selain itu, konsumen juga harus menyadari apa
yang menjadi kewajibannya. Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak saling
memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing. Apa yang menjadi hak konsumen
merupakan kewajiban bagi prousen. Begitu sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban
konsumen menjadi hak produsen. Dengan saling menghormati apa yang menjadi hak
maupun kewajiban masing-masing, maka akan terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana yang diajarkan
dalam ekonommi Islam. Dengan prinsip keseimbagan akan menyadarkan kepada setiap
pelaku bisnis agar segala aktivitassnya tidak hanya mementingkan diri sendiri,
namun juga harus mementingkan kepentingan orang lain.
Apa yang tertuang di dalam undang-undang di atas secara eksplisit dan
subtansial sebenarnya sama dengan ajaran etika Islam. Hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa dimaksudkan agar
barang konsumsi benar-benar aman untuk kesehatan dan aman untuk agama bagi
konsumen muslim. Dalam hal ini, setiap
produk dituntut untuk memiliki bahan baku yang aman, prosesnya benar,
dan hala zatnya. Sehingga mampu menjawab dan mempraktikkan
pertanyaan-pertanyaan untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang dan
jasa apa yang dihasilkan, dan bagaimana cara menghasilkannaya. Hal ini
menunjukkan bahwa para pelaku bisnis (produsen) telah melindungi kepentingan
konsumen sesuai yang diinginkan dalam etika bisnis Islam.[6]
Selanjutnya hak untuk memilih barang yang
di dalam Islam dikenal dengan istilah khiyar, dimaksudkan agar konsumen agar
konsumen diberi kebebasan untuk mendapatkan barang dan jasa sesuai dengan
selera (keinginannya).[7]
Selain itu,, ia juga perlu mendapat kualitas barang sesuai dengan harga yang
ditetapkan dan disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan oleh pelaku bisnis
terhadap konsumen karena bias jadi barang yang telah diperoleh tidak sesuai
dengan harga yang dibayar. Pelaku bisnis bias saja mempermainkan harga dengan
cara menaikkannya (mark up) dari
harga normal. Justru karena itu, Nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya
secara umum telah melarang permainan harga:
“Barang siapa yang
melakukan sesuatu untuk memengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan
tujuan untuk menaikkan harga tersebut, maka sudah menjadi hak Allah untuk
menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat.” (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)[8]
Semua itu sangat tergantung kepada
keadilan, kejujuran, dan keterbukaan para pelaku bisnis (produsen). Karena
tidak adanya kebebasan konsumen dalam memilih suatu barang akibat mekanisme
pasar yang monopolistic, maka Nabi
Muhammad SAW dengan tegas melarang praktik monopoli,[9]
karena dapat menyebabkann nilai tukar yang tidak seimmbang dalam jual beli.
Dengan demikian dapat diprediksi factor yang mempengaruhi terjadinya harha yang
tidak normal di masyarakat. Diantaranya: permainan harga yang disebabkan karena
praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al-ikhtikar) penyalahgunaan kelemahan konsumen karena keluguannya (istirsal), karena tidak terpelajar atau
karena keadaan konsumen yang sedng terdesak untuk memenuhi kebutuhannya (dharurah) karena penipuan dan informasi yang
tidak akurat atau tidak informatif (ghurur)[10]
Untuk mengantisipasi
permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fiqh Islam telah menawarkan
beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-ta’sir
(fixing price), pemberlakuan khiyar
al-ghubun al-fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok),
pemberlakuan khiyar al-mustarsil
(karena tidak tahu harga sehingga ia membeli atas kepercayaan pada pedagang)
larangan jual beli an-najasy, larangan jual-beli talaqi rukban dan jual-beli al-hadhir li bad.
Demikian pula dalam
hubungan dengan hak mendapat advokasi jika sekiranya terjadi sengketa, pada
prinsipnya Islam mengedepankan adanya perdamaian (al-shulhu). Tetapi jika
sekiranya tidak ditemukan jalan keluarnya maka cara penyelesaiannya perlu
melalui arbitrase (al-tahkim). Hanya saja pada umumnya yang dimenangkan adalah
pihak produsen sehingga disinilah perlu diciptakan dewan pengawas yang dikenal
dengan sebutan al-hisbah di Negara Islam. Dewan ini bisa saja ikut membela
hak-hak konsumen agar terhindar dari arogansi pelaku bisnis. Atau perlu adanya
dewan pengawas syariah yang berfungsi untuk mengantisipasi dan kontrol adanya
penyimpangan hokum secara syariah. Di Indonesia tugas penyelesaian kasus
semacam ini antara lain bias melalui badan peradilan niaga.
Selain itu, jika sekiranya
konsumen melakukan klaim karena merasa dirugikan karena ternyata barang yang
diterima mengandung cacat dengan maksud untuk mendapat ganti rugi. Apabila
suatu barang telah rusak di tangn pembeli, kemudian ia mengetahui bahwa
terdapat cacat barang tersebut, maka jika bersandar pada pendapat al-Khatib
al-Syarbainiy, pembeli berhak menuntut kerugian senilai cacat yang terjadi,
dengan cara perhitungan nilai apabila barang terseebut sempurna. Sedangkan
patokan harga diambil dari harga terendah pada hari terjadi transaksi. Ibnu
‘Abidin menyatakan bahwa patokan harga sesuai dengna waktu dan tempat
transaksi, namun apabila mata uang yang berlaku ketika akad tidak brelaku lagi
pada saat ganti rugi, maka yang dituntut nilainya (al-qimah) bukan barang semisal (al-mitsl).
Jika sekiranya pelaku
bsnis tidak mau tahu (membangkang) atas kerugian yang diderita oleh konsumen,
padahal sudah jelas terbukti, maka menurut Ibnu Taimiyah perlu diberlakukan hukum
hudud Allah dan hak publik (huquq Allah). Secara hukum dan moral bagaimanapun
seseorang tidak boleh merampas skecil apa pun hak orang lain, dalam arti ia
harus mengganti kerugian itu kepada yang berhak. Bagi yang mempunyai kesadaran
hukum tentu saja ia tidak akan menunggu sampai diberlakukannya hukum hudud.
Dengan kesadaran hukumnya ia akan mengganti kerugian itu kepada siapa pun yang
berhak, dalam hal ini adalah konsumen.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, sanksi yang
dikenakan pada pelaku usaha secara gariss besar dapat dibagi dua, yaitu
administrative dan pidana.
1. Sanksi
Adminnistratif (pasal 60)
1)
Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif pada
pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25,
dan Pasal 26.
2)
Sanksi
admministratif berupapenetapan ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah)
3)
Tata
cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2. Sanksi
Pidana
Pasal 61,
berkaitan dengan sanksi pidana menegaskan bahwa penuntutan pidana dapat
dilakukan pada pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62
secara eksplisit dipertegas apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
1)
Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10 Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,huruf
c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)
2)
Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf
f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda aling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3)
Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian,
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Berikutnya, pasal 63,
dikatakan:
Terhadap sanksi
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dijatuhkan hukuman tambahan
berupa:
a.
Perampasan
barang tertentu;
b.
Pengumuman
keputusan hakim;
c.
Pembayaran
ganti rugi;
d.
Perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.
Kewajiban
penarikanbarang dari peredaran; dan
f.
Pencabutan
izin usaha.
Demikianlah sanksi yang
dijatuhkan oleh kedua hukum, baik hukum syariah maupun hukum positif
(perundang-undangan nasional), pada dasarnya sama-sama memberikan komitmen
untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen. Perlakuan perlindungan terhadap
konsumen tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi
tujuan pokok adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak dengan
prinsip saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan
yang ingin mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan,keamanan, dan lain
sebagainya. Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hukum
bagi masyarakat dalam kehidupan.
C.
Prinsip Konsumsi dalam Islam: Entry Point Menuju Terciptanya Supremasi
Hukum
Konsumsi adalah
perminataan (demand), sedangkan produksi
adalah (supply). Perbedaan antara
ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara
pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui
keinginan matrealistis semata sebagaimana pola konsumsi modern. Semakin tinggi
peradaban sebuah komunitas, berkecenderungan untuk meningkatkan kebutuhan
fisiologik mereka karena dorongan faktor psikologik. Harga diri seseorang tidak
lagi diukur dari aspek yang bersifat spiritual, tetapi dari apa yang tampak
secara fisik, yang antara lain bisa berupa seberapa banyak kendaraan yang
dimiliki, bagaimana kualitas baju yang dipakai, seberapa banyak uang yang
ditabung atau diinvestasikan, dan masih banyak lagi. Inilah fenomena yang
sangat menonjol di era modern dewasa ini yang menjadikan kebendaan (harta)
sebagai parameter status sosial seseorang.
Pandangan terhadap
atmosfer kehidupan seperti itu sangat berbeda dengan konsepsi nilai Islami.
Ajaran Islam berusaha mengurangi kebutuhan material manusia yang hampir tanpa
batas, untuk bisa menghasilkan energi dalam mengejar cita-cita spirirtualnya.
Perkembangan batiniah telah dijadikan cita-cita tertinggi dan mulia dalam
hidup. Sekali pun diakui bahwa manusia butuh materi sebagai pemuas kebutuhan
fisiko-biologisnya, namun bagaimana kebutuhan spiritual tetap harus
dikedepankan. Sikap semacam ini tentu saja akan berpengaruh pada bagaimana cara
seorang konsumen mengonsumsi sebuah
produk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini Islam telah menetapkan
prinsip-prinsip konsumsi yang seyogyanya menjadi panduan bagi produsen selaku
penghasil produk dan bagi konsumen sebagai penikmat produk.
Ada lima prinsip konsumsi
dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan M. Abdul Mannan sebagai berikut:
1. Prinsip keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar
sekali yang maksudnya, dalam mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang
halal dan tidak dilarang hukum, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran:
“Hai sekalian
manusia, makanah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di dalam bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu”
Kata “halal” dimaksudkan bahwa cara
memperolehnya harus sah secara hukum, memperhatikan prinsip keadilan, dalam
arti tidak menipu dan merampas harta orang lain, karena apabila tidak, maka
harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai yang haram untuk
dimakan. Karena itu, alangkah bahagia dan mulianya orang yang mengedepankan
prinsip keadilan, baik dalam mencari rezeki maupun dalam mengonsumsinya.
Kemuliaan itu tidak hanya di hadapan sesama manusia, bahkan lebih jauh dari
itu, yakni kemuliaan di hadapan Tuhan.
2. Prinsip kebersihan
“Halal” dalam prinsip yang pertama, bisa
saja dikatakan bersih secara yuridis. Lain halnya dengan prinsip yang kedua
yang menekankan adanya keberihan. Kata “bersih” di sini dimaksudkan dalam arti
lahir (fisik). Faktor kebersihan memegang peran yang sangat diutamakan dalam
ajaran Islam. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai kita diingatkan bahwa
memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin kualitas keimanan seorang hamba.
Oleh karena itu arahan al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan makanan,
hendaknya makanan itu harus yang baik dan layak untuk dimakan, tidak kotor atau
pun menjijikkan sehingga merusak selera. Secara tegas Nabi Muhammad saw
menyatakan bahwa kebersihan itu dalam segala hal adalah sebagian dari iman.
Selain itu, Rasulullah saw mengatakan “Makanan diberkahi jika kita mencuci
tangan sebelum dan sesudah makannya” (HR. Tirmizi). Namun, demikian sisi lain
yang perlu disadari bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah keniscayaan
sebagai prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat
dianjurkan dalam ilmu medis.
Bagi kalangan pelaku bisnis memperhatikan
kebersihan barang yang diproduksi adalah merupakan sebuah kewajiban. Bersih
dalam arti steril dari zat yang dilarang dikonsumsi secara hukum, sekaligus
juga bersih dalam arti arti fisik zatnya sehingga aman dan layak untuk
dikonsumsi oleh konsumen secara medis.
3. Prinsip kesederhanaan
Prinsip ketiga ini menekankan agar dalam
mengkonsumsi makanan dan minuman manusia tidak berlebih-lebihan, sesuai dengan
firman-Nya:
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah,
tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebihan.”
“Israf” yang berarti berlebihan, merupakan
simbol keserakahan dalam hal apapun, berarti seseorang berada dalam titik
ekstrem yang sering kali menimbulkan kesenjangan di tengah kehidupan. Berlebihan
dalam hal makanan, berarti seseorang dikendalikan oleh nafsu perut. Apabila
berkelanjutan, nafsu itu akan menambah pada nafsu ingin berkuasa, karena dengan
kekuasaan seseorang akan berlimpah fassilitas. Dengan fasilitas yang berlebih
seseorang akan mudah mengumpulkan harta yang bisa memfasilitasi keinginan nafsu
perut dan seksualnya. Demikan seterusnya sirkulasi kehidupan manusia yang
dikendalikan oleh nafsu serakah. Jika nafsu itu menguasai pelaku bisnis
(produsen, bukanlah mustahil ia akan memperlakukan konsumen hanya untuk
mengeruk keuntungan diri sendiri. Di sinilah relevansi perlunya Islam melarang
seseorang berlebihan dalam hal makan dan minum. Tentu saja larangan ini bisa
kita eksplanasikan pada kebutuhan yang lain.
4.
Prinsip kemurahan hati
Dengan menaati perintah Islam, maka tidak
akan ada bahaya maupun dosa dalam mengkonsumsi makanan dan minuman halal yang
dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-Nya. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa di
luar batas kemampuan manusia (darurat-emergency)
ketentuan itu bisa saja disampingi dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”
Pada hakikatnya semua rezeki yang kita
konsumsi adalah anugerah Allah yang diamanatkan kepada manusia di muka bumi. Karena
itu sangatlah logis jika kita dalam memiliki dan mengkonsumsi harta tidak boleh
berlebihan, karena di dalam apa yang kita miliki itu ada hak orang lain yang
harus ditunaikan. Hak-hak itu secara umum bisa berupa zakat, infaq, dan
sadaqah.
Namun dalam hal-hal khusus bagi seorang
pelaku bisnis, kemurahan hati itu bisa terwujud dalam bentuk melindungi
konsumen dari segala bentuk modus kecurangan, seperti harta yang pantas,
kualitas barang yang wajar, takaran yang jujur, dan lain sebagainya. Sikap
murah hati adalah salah satu sifat Allah swt yang harus dibumikan oleh manusia
di dunia sebagai wujud ajaran Islam sebagai rahmatan
lil ‘alamin. Apabila tidak, justru akan terjadi hal yang sebaliknya, pelaku
bisnis akan selalu menjadikan konsumen sebagai sasaran pemasaran demi meraih
keuntungan yang melimpah bagi dirinya sendiri. Justru karena itu bagi setiap
pelaku bisnis Muslim harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari khalifah
Allah di bumi yang harus selalu menebar “rahmah” dalam menjalankan profesinya,
sehingga konsumen merasa aman dan nyaman dalam mengkonsumsi setiap produk yang
dipasarkan.
5. Prinsip moralitas
Berakhlak dalam Islam tidak hanya
dialamatkan kepada sesame manusia, tetapi juga kepada diri sensiri, lingkungan
(alam) sekitar, dan bahkan terhadap Tuhan sekalipun. Wujud terima kasih kepada
Tuhan di dalam mengelola dan mengkonsumsi harta hendaknya kita mengikuti
petunjuk-petunjuk-Nya. Apa pun yang kita
makan dan kita minum yang diperoleh denga cara yang halal sama halnya dengan
menghargai diri sendiri dan hormat kepasa Tuhan. Menjaga lingkungan alam karena
sebagian telah kita konsumsi sama halnya engan menghargai lingkungan dan
menaaati ajaran Tuhan. Demikian seterusnya. Dalam kita mengkonsumsi dituntut
agar selalu ingat kepada-Nya, karena Islam menghendaki perpaduan nila-nilai hidup
material dan spiritual secara simultan.
Bagi para pelaku bisnis
yang berpegang teguh pada prinsip moralitas merupakan prakondisi ketaatan
mereka pada hukum yang berlaku, baik hukum yang bersumber dari akal manusia
maupun yang bersumber dari ajaran wahyu. Sebagai konsekuensinya, mereka akan
selalu melindungi segala hak konsumen sebagai bagian dari ajaran hukum apa pun
secara universal.
D. Gerakan
Konsumen: Upaya Advokasi Terhadap Distorsi Hukum
Sebagaimana telah
disinggung sebelum ini bahwa untuk mengatasi dan mengantisipasi pengaruh
kekuatan produsen yang cenderung merugikan konsumen dipelukan keterlibatan
pemerintah sebagai pemegang hak otoritas dalam sebuah negara. Dalam hal ini
pemerintah bisa melakukan pengawasan dan pengaturan (regulasi) yang bisa
memaksa para pelaku bisnis untuk menghormati hak orang lain. Tetapi, dalam
praktiknya, hal ini tidak mudah dilakukan sehingga pada akhirnya lahirlah
gerakan dari kalangan masyarakat yang disebut dengan Gerakan Konsumen. Ini
berarti, untuk melawan arogansi produsen belum cukup dilakukan pemerintah (top down)
semata, namun tampaknya harus juga didukung oleh masyarakat secara umum (bottom up). Oleh kerena dengan modal yang memadai, produsen seakan-akan
merasa mempunyai posisi tawar yang semakin kuat. Akibatnya pemerintah dibuat
kurang berdaya yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat selaku konsumen
dari semua produk yang beredar.
Sebenarnya gerakan dan pengawasan
pemerintah tidak diperlukan lagi jika sekiranya dalam diri para pelaku bisnis
ada kesadaran bahwa penagawan Allah stw jauh lebih teliti dari pada pengawasan
manusia. Ada kesadaran bahwa mementingkan kehidupan akhirat jauh lebih penting
dari pada mengejar kepentingan duniawi yang sesaat dan berjangka pendek.
Bersumber dari kesadaran seperti ini lah yang akan mengetuk hati para pelaku
bisnis agar tidak melakukan bisnis yag merugikan konsumen. Dengan kata lain,
para produsen akan memperlakukan konsumen secara adil, transparan, jujur, dan
lain sebagainya, dan hal ini baru akan berjalan dengan tulus jika dilandasi
oleh kesadaran hukum yang bernuansakan nilai spiritual.
Selanjutnya
pada bagian ini agar lebih jelas akan dikemukakan latar belakang lahirnya
gerakan konsumen sebagaimana dikemukakan A. Sonny Keraf sebagai berikut.
1.
Banyaknya produsen
berhati emas dan punya kesadaran moral yang tinggi, namun hati dan kesadaran
moralnya itu sering dibungkam oleh keinginan untuk mendapat keuntungan atau
uang dalam waktu singkat dari pada memperdulikan hak konsumen;
2.
Di banyak negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia, para produsen lebih dilindungi oleh pemerintah
karena mereka dianggap punya jasa besar dalam menopang perekonomian jasa
tersebut. Akibatnya, kepentingan mereka lebih diamankan pemerintah dari pada
kepentingan konsumen;
3.
Dalam sistem sosial
politik dimana kepastian hukum tidak jalan, pihak produsen akan dengan mudah
membeli kekuasaan untuk melindunga kepentingannya terhadap tuntutan konsumen.
Kalau pun konsumen menuntut, pihak produsen selalu merasa diri di atas angin;
4.
Konsumen, (individual
khususnya) merasa rugi kalau harus menuntut produsen dan karena itu ia selalu
berada dalam posisi yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa
benar-benar digunakan sebagai kekuatan konsumen di mana keluhan mereka melalui
rubik surat pembaca punya dampak efektif mempengaruhi produsen.
Menurut Keraf, salah satu syarat
bagi terpenuhi dan terjaminnya hak-hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka
dan dibebaskan bagi semua pelaku ekonomi, termasuk produsen dan konsumen. Pasar
terbuka dan bebas akan berfungsi semaksimal mungkin untuk menjamin kepentingan
konsumen dan juga kepentinga produsen. Bagi konsumen, hanya dengan pasar
terbuka dan bebas mereka bisa leluasa mendapatkan informasi sebanyak mungkin
dari berbagai perusahaan yang pada akhirnya bisa menentukan pilihannya secara
bebas dan tepat.
Selain itu, salah satu langkah yang
sangat berpengaruh adalah Gerakan Konsumen. Gerakan ini lahir (sebagaimana
telah dijelaskan) karena didasari adanya penggunaan kekuatan bisis yang tidak fair. Dan dirasakan adanya praktik
bisnis yang merugikan hak dan kepentingan konsumen yang apabila tidak
ditanggapi dalam bentuk sebuah “gerakan” akan semakin merugikan konsumen.
Di samping alasan tersebut, gerakan
konsumen di Barat lahir karena berbagai pertimbagan, yaitu:
1.
Kebutuhan akan informasi
dan pedoman yang akurat tentang berbagai produk yang beredar di masyarakat;
2.
Kebutuhan akan informasi
dari produk jasa yang semakin terspesialisasi untuk membantu konsumen agar bisa
mengambil keputusan mana yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka;
3.
Adanya pengaruh iklan
yang sering kali membuat konsumen kebingungan dan tidak jarang menipu atau
merugikan mereka;
4.
Kurang perhatiannya
keamanan produk secara serius oleh produsen;
5.
Kebutuhan konsumen akan
wadah konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk menuntut hak dan
kepentingannya sesuai dengan prinsip kontrak jual beli yang adil.
Dikatakan bahwa kehadiran konsumen,
khusunya yang dilembagakan, ternyata mengalami banyak kesulitan. Salah satunya
adalah masalah pendanaan bagi kelangsungan dan pengoperasian lembaga.
Sesungguhnya masalah ini bisa dicarikan jalan keluarnya, jika sekiranya
pemerintah memprioritaskan akan kehadirannya. Namun, karena lembaga ini
merupakan lembaga swadaya masyarakat perhatian itu dirasa kurang, dan bahkan
sering kali berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Akhirnya lembaga ini
terpaksa menarik dana dari masyarakat, khususnya konsumen, karena jika dilihat
dari fungsinya lembaga ini melakukan penelitian dan mengumpulkan informasi yang
akurat. Hasilnya diharapkan dapa dikonsumsi oleh konsumen dengan kompensasi
kepada mereka diminta untuk membantu segala biaya yang dikeluarkan.
Akan tetapi dalam realitasnya,
lembaga ini mengalami masalah kerena konsumen cenderung untuk tidak mau membayar
harga infomasi yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh mereka. Hal ini
disebabkan karena konsumen pada dasarnya kurang memahami nilai dari sebuah
informasi yang bisa melindungi segala kepentingannya. Sekali pun dalam praktik
menunjukkan demikian, nampaknya lembaga konsumen masih terus berjuang untuk
hadir di tengah masyarakat sambil menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga
sumber informasi yang dipercaya dan dibutuhkan oleh konsumen.
Dari kenyataan di atas dapat
dipahami bagaimana pun kehadiran sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini
tetap dibutuhkan guna melindungi pihak yang selalu diposisikan di tempat
marjinal. Kehadiran institusi ini antara lain untuk menyeimbagkan antara hak
dan kewajiban produsen dan konsumen. Jika sekiranya keseimbagan itu mulai
terwujud maka dapat dikatakan bahwa supremasi hukum sudah mulai terbangun di
tengah maraknya distorsi hukum yang semakin memprihatinkan.
Bab III
Kesimpulan
Konsumen
adalah setiap orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa dengan
berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Bagi konsumen Muslim
dalam mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun harus halal, baik dan aman,
karena itulah arti pentingnya produsen melindungi kepentingan konsumen sesuai
dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama yang mereka anut tanpa
mengabaikan aturan perundang-undangan negara yang berlaku.
Seorang
konsumen memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Di Indonesia, hal itu
diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Secara eksplisit dan substansial undang-undang yang
mengatur hak dan kewajiban konsumen sama dengan ajaran Islam. Misalnya hak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa
dimaksudkan agar konsumen Muslim dalam memakan dan memakai produk benar-benar
aman kesehatannya dan aman agamanya. Apabila seorang pelaku usaha tidak dapat
memenuhi hak seorang konsumen, maka pelku usaha dapat dikenai sanksi.
Dalam
Islam, dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa harus sesuai dengan lima prinsip
konsumsi yang dikemukakan oleh M. Abdul Mannan. Prinsip tersebut adalah prinsip
keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati,
dan prinsip moralitas. Untuk itu, seorang pelaku usaha harus mampu memenuhi
prinsip konsumsi agar sesuai dengan aturan yang ada. Dengan demikian diharakan
bahwa supremasi hukum dapat terwujud.
Untuk
mewujudkan perlindungan hukum bagi konsumen, mereka bergabung menjadi satu
dalam Gerakan Konsumen. Selain itu, pemerintah juga dapat melindungi konsumen
dengan melakukan pengawasan bagi pelaku usaha. Dengan demikian dapat tercipta
keseimbangan antara hak dan kewajiban yang saling menguntungkan bagi produsen
dan konsumen.
Videoslots - YouTube VideoLists.cc
BalasHapusVideoslots.cc is an independent site and part of the British online gambling industry. We provide instant access to youtube to mp3 convert over 250 million views videoslots · videoslots
Casino in Norwich, Connecticut - MapYRO
BalasHapusFind the 바카라 양방 best Casino in Norwich, Connecticut, United States, located in real-time at MapYRO. Get 서산 출장안마 Directions, 출장안마 Phone Number, Address, Reviews, Games, Promotions, Rating: 2.9 군산 출장안마 · 13 경상북도 출장안마 reviews